InfoSAWIT, JAKARTA – Melemahnya perekonomian di sejumlah negara importir minyak sawit diramalkan akan menggerus harga komoditas tersebut. Untuk mencegah penurunan harga lebih dalam penyerapan di dalam negeri perlu ditingkatkan. Program biodiesel dinilai sebagai salah satu upaya penting dalam membantu menopang harga minyak sawit di dalam negeri.
Produksi minyak sawit global tahun ini diprediksi meningkat 3-5 persen dibanding 2022, sehingga pasar akan oversuplai yang mengakibatkan harganya turun. Daya beli di kawasan Uni Eropa, India, dan China sebagai pasar utama minyak sawit pada 2022 dan 2023 diperkirakan melemah, akibat kombinasi dari resesi dan inflasi tinggi. Penurunan harga minyak sawit pada 2023 juga diperkirakan berada pada level lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Menurut Direktur Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung, penurunan harga minyak sawit global (termasuk tandan buah segar/TBS) saat ini disebabkan kelebihan pasokan minyak sawit di pasar dunia, yang ditandai oleh tingkat stok di negara- negara importir telah mencapai tingkat sebelum pandemi, bahkan lebih. Flash out besar-besaran yang dilakukan Indonesia pada semester kedua 2022 dimanfaatkan negara-negara importir untuk menimbun stok, sehingga saat ini sudah penuh.
BACA JUGA: Produksi Minyak Sawit Mentah (CPO) DSNG Naik 17 Persen di 2022
“Akibatnya permintaan minyak sawit dunia melemah. Apalagi harga energi fosil dunia juga sedang tren turun, sehingga mengurangi demand CPO dunia untuk bioenergi,” kata Tungkot dalam keterangannya diterima InfoSAWIT, Senin (8/5/2023).
Dia menilai, peningkatan blending rate biodiesel dari mandatori B30 menjadi B35 menjadi strategi pengelolaan pasar minyak sawit domestik. Besarnya konsumsi minyak sawit domestik yang dialokasikan untuk mensukseskan kebijakan mandatori B35 telah menurunkan ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar dunia. Sehingga stok minyak sawit di pasar dunia relatif stabil, sehingga dapat menciptakan excess demand.