InfoSAWIT, JAKARTA – Pada tahun 2023, sebuah studi yang dilakukan organisasi nirlaba TuK INDONESIA telah menggambarkan kekhawatiran tentang industri perkebunan sawit di Indonesia. Data yang ditemukan oleh organisasi ini mengungkapkan bahwa 25 kelompok perusahaan besar menguasai total lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektar di Indonesia. Dari luas lahan tersebut, sebagian besar dimiliki oleh beberapa perusahaan raksasa seperti Sinar Mas (14%), Salim (8%), Jardine Matheson/Astra Agro (7%), Wilmar (6%), dan Surya Dumai Grup (5%).
Namun, sorotan utama studi ini bukan hanya pada dominasi perusahaan-perusahaan besar tersebut. TuK INDONESIA juga mengidentifikasi bahwa beberapa dari perusahaan-perusahaan sawit yang mendapat pemutihan perkebunan kelapa sawit yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Ini menunjukkan sebuah paradoks yang meresahkan: pemutihan yang seharusnya menjadi langkah ke arah peningkatan penerimaan negara, malah berujung pada peningkatan keberlanjutan kejahatan lingkungan.
Menariknya, lembaga jasa keuangan, yang seharusnya memainkan peran penting dalam mengawasi dan memastikan pembiayaan yang etis, juga terlibat dalam skema pembiayaan perusahaan-perusahaan ini. Sinar Mas, misalnya, dibiayai oleh berbagai lembaga keuangan besar termasuk Banco de Sabadell dan ABN AMRO, sementara Wilmar mendapat pembiayaan dari Oversea-Chinese Banking Corporation. Bahkan, lembaga keuangan dari negara tetangga, Employees Provident Fund di Malaysia, turut memberikan pembiayaan kepada Genting Grup.
Penting untuk mencatat bahwa studi ini juga menggugat kredibilitas sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), yang merupakan standar internasional dalam produksi kelapa sawit berkelanjutan. Temuan bahwa perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kegiatan ilegal ini adalah anggota RSPO memberikan alasan kuat untuk meragukan efektivitas dan integritas sertifikasi ini.
Pengkampanye dari TuK INDONESIA, Abdul Haris, menekankan pentingnya masalah ini. Menurutnya, pemutihan itu, adalah bentuk kejahatan oleh negara. Ini seharusnya menjadi perhatian serius oleh lembaga jasa keuangan, dan penting untuk mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang bahkan terlibat dalam kejahatan lingkungan (karhutla).
BACA JUGA: Program Riset Sawit, Guna Membangun Industri Sawit yang Berkelanjutan
“Adanya temuan bahwa perusahaan-perusahaan yang menanam sawit dalam kawasan hutan pun merupakan grup perusahaan anggota RSPO mendukung statement kami sebelumnya bahwa memang, sertifikasi RSPO tidak kredibel,” dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, belum lama ini. (T2)