InfoSAWIT, JAKARTA – Dari ketiga ahli di BMKG ini dapatlah disimpulkan secara umum bahwa tahun 2023 ini akan terjadi Kemarau Panjang di Indonesia, durasinya antara 3-7 bulan, tetapi ada yang ekstrim yakni sampai 7-9 bulan kering. Puncak Kemarau ada pada bulan Agustus, sehingga hujan akan dimulai akhir bulan November atau diawal Desember 2023. Hujan masih ada dibeberapa daerah terutama di bagian Tengah Indonesia persisnya di wilayah iklim Equatorial. Diluar iklim equatorial tersebut musim kemaraunya lebih panjang.
Evapotranspirasi pada musim kering biasanya dihitung 5 mm/hari atau sekitar 150 mm air hujan/bulan. Sehingga jika reratanya 4 bulan saja kemarau maka deficit air nya menjadi 4×150 mm = 600 mm. Tapi harus dikurangi terlebih dahulu dengan persediaan air dalam tanah misalnya 200 mm, maka deficit airnya menjadi 400 mm.
Perhitungan water deficit tersendiri di setiap lokasi akan semakin akurat datanya, apalagi jika tersedia data curah dan hari hujan minimal 10 tahun (Cara menghitungan water deficit ini lihat buku Kelapa Sawit, Teknis Agronomis dan Manajemen, Tinjauan praktis dan teoritis, hal 152). Water Deficit sampai 400 mm dapat menurunkan produktivitas sampai 60 %, produksi akan menumpuk di 2-3 bulan saja, biasanya di akhir tahun. Water Deficit ringan sekali sampai 50 mm, belum tampak gejala penurunan produktivitasnya.
BACA JUGA:
Atas dasar data dari BMKG diatas, diperkirakan produksi minyak sawit Nasional akan turun sampai 60% yakni 40% di tahun 2023 dan 20% di tahun 2024. Di negara Malaysia, Thailand juga diperkirakan akan sama nasibnya, sehingga produksi minyak sawit dunia akan menurun sebesar 30-40% di tahun 2023 dan 20-30 % di tahun 2024.
Produksi nasional minyak sawit (CPO +PKO) 2022 = 54 juta ton akan turun menjadi 38 juta ton di tahun 2023 dan menjadi 43 ton di tahun 2024, artinya aka ada pengurangan sebesar 16 juta ton dan 11 juta ton di tahun 2024. Larangan ekspor minyak sawit mentah atau CPO tersebut ternyata berdampak signifikan pada petani kelapa sawit. Tandan buah segar atau TBS yang mereka panen tidak diserap industri yang setop berproduksi. Harga TBS pun anjlok meskipun pemerintah telah mencabut kembali larangan ekspor sebulan kemudian. (Memet Hakim/ Senior Agronomis, Dosen LB Unpad, ETCAS, Oil Palm Bussiness Recovery & Rescue)