InfoSAWIT, BANDUNG – Malaysia telah mengukuhkan dirinya sebagai pemain utama dalam industri minyak sawit, dengan produksi lebih dari 260 jenis produk turunan, termasuk tochotrionol dan tochoferrol yang diekstrak langsung dari tanaman sawit.
Keberhasilan ini tidak hanya disokong oleh teknologi yang canggih, tetapi juga oleh keamanan dan ketertiban dalam regulasi. Sayangnya, Indonesia, yang memiliki potensi besar dalam industri ini, masih terhambat oleh ketidakpastian dan perubahan cepat dalam regulasi.
Padahal, Indonesia memiliki potensi lahan sawit yang jauh lebih besar daripada Malaysia, namun ketidakpastian regulasi dan banyaknya kementerian yang terlibat dapat menghambat pertumbuhan industri.
BACA JUGA: Indonesia Butuh Pemimpin yang Mampu Mereformasi Tata Kelola Industri Sawit
Seiring dengan perkembangan ini, Plt Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, mengusulkan pendekatan yang lebih terfokus dan efisien. Ia menyarankan untuk membentuk satu badan yang melaporkan langsung ke Presiden, dengan kementerian hanya berperan sebagai pendukung.
“Saat ini, kita butuh pasar yang kondusif dan stabilitas regulasi. Dengan memiliki satu badan yang fokus dan konsisten, industri hilir sawit bisa berkembang dengan baik,” kata Sahat Sinaga pada Acara Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit di Bandung, yang dihadiri InfoSAWIT, Kamis (1/2/204).
Lebih lanjut tutur Sahat, industri sawit supaya dapat terus berkembang perlu didukung dengan regulasi yang mendukung dan konsiten tidak berubah-ubah. Dengan demikian akan membantu Indonesia meraih potensinya dalam industri minyak sawit.
BACA JUGA: Total Nilai Industri Sawit US$ 62 Miliar Berpotensi Masih Bisa Ditingkatkan, Asalkan..
Sementara Head of Sustainability Aprobi, Rapolo Hutabarat, menambahkan dimensi baru pada diskusi ini dengan menyoroti pentingnya diversifikasi sumber bahan baku untuk mendukung pengembangan biofuel. Ia menekankan bahwa mengandalkan hanya pada minyak sawit tidak cukup, dan Indonesia perlu bekerja sama dengan produsen minyak nabati sejenis.