InfoSAWIT, JAKARTA – Indonesia dan Malaysia, sebagai dua raksasa produsen minyak sawit terbesar di dunia, telah lama bersaing memperebutkan posisi sebagai penguasa utama dalam industri ini. Sejarah panjang persaingan ini mencerminkan dinamika perubahan, keunggulan, dan tantangan yang dihadapi kedua negara. Meskipun Indonesia berhasil mengambil alih posisi Malaysia sebagai produsen utama pada tahun 2006, perbedaan dalam pendekatan dan strategi antara kedua negara ini menawarkan pelajaran berharga untuk pembangunan dan kemajuan industri sawit di masa depan.
Keunggulan Malaysia atas Indonesia terletak pada sejumlah faktor kunci, yang diakui oleh Derom Bangun, mantan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoensia (Gapki) dan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI). Beberapa aspek utama mencakup produktivitas, riset, promosi, tata kelola sawit, perhatian kepada petani sawit, hilirisasi, dan pengelolaan sawit dalam satu atap.
Malaysia memiliki keunggulan yang signifikan dalam hal produktivitas. Hasil panen sawit per hektar di Malaysia mencapai 4 – 6 ton, sementara Indonesia hanya mampu mencapai 3,5 – 3,6 ton per hektar. Keunggulan ini tidak terlepas dari upaya riset yang intensif, fokus pada peningkatan produksi buah segar per pohon, penambahan bobot buah dalam setiap tandan, dan pengembangan bibit unggul. Institusi penelitian seperti Porim (Palm Oil Research Institute of Malaysia) dan MPOB (Malaysian Palm Oil Board) memainkan peran sentral dalam mendorong inovasi dan efisiensi dalam semua tahapan produksi dan penggunaan sawit.
Lebih jauh lagi, Malaysia menonjolkan tata kelola yang kokoh dan perhatian khusus kepada petani sawit. Organisasi seperti FELDA (Federasi Land Developmentt Authority) mengumpulkan para petani untuk berkebun sawit dan pemerintah menyadari pentingnya mendukung mereka. Bank di Malaysia secara proaktif terlibat dalam memastikan petani memiliki akses ke dana yang diperlukan untuk mengembangkan ladang sawit mereka. Pendekatan ini, yang dapat disebut sebagai “jemput bola,” memberikan dampak positif pada kemampuan petani untuk mengelola dan memperluas usaha mereka.
Selain itu, Malaysia memiliki sistem responsif yang dikenal sebagai Skema Stabilisasi Harga. Sistem ini menggunakan dana dari pajak dan iuran pengusaha sawit untuk mengatasi instabilitas harga minyak goreng dalam negeri. Hal ini memberikan kepastian harga kepada konsumen dan mendukung keberlanjutan ekonomi para pelaku usaha di industri sawit.
Pentingnya hilirisasi industri juga menjadi salah satu poin keunggulan Malaysia. Dengan memproduksi 100 turunan produk CPO, Malaysia telah berhasil menaikkan nilai tambah pada minyak sawitnya. Ini berbanding terbalik dengan Indonesia, yang baru memproduksi sekitar 47 turunan produk CPO. Dalam era globalisasi dan persaingan pasar yang ketat, kemampuan untuk mengolah minyak sawit menjadi produk konsumsi yang lebih tinggi dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan.
BACA JUGA: Croplife Indonesia: Bioteknologi Dukung Ketahanan Pangan Nasional
Selain faktor-faktor di atas, Malaysia memiliki lembaga-lembaga pendukung yang kuat, termasuk MPOC (Malaysian Palm Oil Council) yang berfokus pada promosi minyak sawit di pasar internasional. Dana yang besar dari pungutan CESS dan dukungan pemerintah yang menyeluruh menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan inovasi di sektor ini.