INFO SAWIT, JAKARTA –Sejak ISPO diluncurkan pada Maret 2011, dan diberlakukan secara efektif sebulan kemudian, sertifikasi telah menjadi topik penting di kalangan industri kelapa sawit dalam membangun bisnis kelapa sawit berkelanjutan. Sertifikasi ISPO bukan saja sekedar memenuhi aspek kepatuhan atas ketentuan pemerintah, tetapi sekaligus berfungsi sebagai respon industri kelapa sawit nasional untuk memenuhi berbagai syarat dan prasyarat yang diminta para pembeli internasional atas produk-produk kelapa sawit. Tidak ada komoditas pertanian lain di Indonesia yang diwajibkan memenuhi standar sertifikasi berlapis seperti di sektor kelapa sawit.
Selain sertifikasi ISPO, produsen yang tergabung dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), harus memenuhi prinsip-prinsip dan kriteria (principles & criteria, P&C) yang disepakati para stakeholder anggotanya. RSPO didirikan sebelum ISPO, dan memiliki P&C lebih ketat dibandingkan ISPO. Meskipun ada perbedaan dalam tingkat ketelitian dari P&C yang harus dipenuhi, kehadiran kedua bentuk sertifikasi bagi industri kelapa sawit ini perlu diapresiasi.
Pergeseran Paradigma
Keberlanjutan (sustainability) pada dasarnya merupakan suatu hal fundamental yang lebih dari sekedar sertifikasi. Hal ini merupakan proses terintegrasi, tentang bagaimana perusahaan menyeimbangkan aspek manusia, lingkungan, dan finansial dalam setiap keputusan bisnis. Sertifikasi lebih berperan sebagai alat verifikasi eksternal atas komitmen dan implementasi operasional, namun dalam praktek komitmen dan implementasi sehari-hari inilah yang sesungguhnya menjadi bagian terpenting.
BACA JUGA: Consumer Goods di Indonesia Didorong Menggunakan Minyak Sawit Berkelanjutan
Tujuan dari setiap pelaku industri kelapa sawit, adalah bagaimana pelaku bisnis di sektor ini bertindak beyond compliance – lebih dari sekedar memenuhi aturan atau syarat-syarat sertifikasi, melainkan menjadikan keberlanjutan sebagai sesuatu yang terintegrasi, sebuah cara ‘normal’ dalam menjalankan bisnis. Pergeseran paradigma ini datang karena industri menyadari dan menerapkan bahwa, bukanlah sertifikasi, melainkan perubahan dan perbaikan berkesinambungan pada praktek bisnisnya, merupakan kunci untuk menjadikan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di masa depan.
Pada kenyataannya, ketika sebuah perusahaan memiliki visi keberlanjutan, lepas dari keberadaan atau ketiadaan sertifikasi, prinsip keberlanjutan ini perlu tetap berjalan di semua lini operasi perusahaan melalui implementasi pada sistem standar operasional perusahaan, dan praktek bisnis terbaik yang dilaksanakan setiap hari. Saat ini, karena sifat dari proses sertifikasi itu sendiri, masih ada kecenderungan di sebagian kalangan untuk menjadikan sertifikasi sebagai tujuan akhir.
Di sisi lain, ada perusahaan kelapa sawit yang benar-benar telah menerapkan prinsip prinsip berkelanjutan sebagai bagian integral dari kegiatan operasional mereka, dimulai dari proses mendapatkan izin untuk berproduksi, hingga saat ketika pembeli mendapatkan produk mereka.
BACA JUGA: Pelibatan Petani Pada Program Biodiesel Dukung Praktik Sustainability dan Genjot Ekonomi
Di PT SMART Tbk misalnya, anak perusahaan Golden Agri-Resources (GAR), kerangka dari sebuah perusahaan kelapa sawit berkelanjutan terbentang diantara tiga pilar perusahaan, yakni manusia (people), lingkungan (planet) dan keuntungan (profit). Pilar manusia dimaksudkan sebagai pembangunan sosial, sedangkan pilar lingkungan mengandung visi perusahaan untuk mencari upaya terbaik di semua lini bagi aspek lingkungan. Sedangkan pilar profit berkaitan dengan bagaimana menciptakan bisnis yang tak hanya terus bertumbuh, tapi juga menghasilkan nilai bagi pemegang saham.
Tiga pilar berkelanjutan ini diimplementasikan dari hulu ke hilir pada operasi perusahaan. Dimulai dari kegiatan selama fase awal untuk mendapatkan perizinan, hingga kegiatan di hilir seperti distribusi dan layanan pasca-penjualan. Disini, sertifikasi lebih berfungsi sebagai alat kontrol atas proses bisnis yang dilakukan, dan tak semata dijadikan tujuan akhir. (*)
Penulis: Haskarlianus Pasang meraih gelar Ph.D di bidang Civil and Environmental Engineering dari Melbourne University Australia (2006)