InfoSAWIT, JAKARTA - Disaat semua harga pupuk dan pestisida melambung tinggi, harga sawit dan turunannya ikut merangkak naik, tiba-tiba ekspor hasil olahan buah sawit dilarang dengan alasan untuk memaksa harga minyak goreng supaya berlimpah dan semurah-murahnya hingga Rp 14.000/Liter. “Ini benar-benar sangat memukul usaha petani sawit,” ungkap petani sawit swadaya asala Sumatera Utara, Soaduon Sitorus, kepada InfoSAWIT, belum lama ini.
Kata dia, dengan keputusan larangan ekspor, negara telah bertindak memaksa industri sawit dari hulu ke hilir supaya menjual hasil sawitnya semurah-murahnya di dalam negeri sampai kebutuhan di dalam negeri sesuai harga yang ditetapkan negara terpenuhi.
“Petani sawit adalah salah satu stakeholder utama di bagian hulu industri sawit, sebagai penghasil Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang merupakan bahan baku minyak goreng. Keputusan pemerintah ini bukan hanya terasa sangat merugikan bagi petani sawit, tetapi ini kenyataan yang sangat kejam,” katanya.
Dengan kejadian ini ibarat menjadi sejarah terburuk bukan hanya untuk petani sawit, tapi juga secara keseluruhan stakeholder industri sawit, termasuk merugikan Pengusaha Perkebunan Sawit dari hulu hingga hilir dan juga merugikan negara.
Tutur Soaduon Sitorus, larangan ekspor dibuat dengan alasan demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, sedangkan kenyataannya kebutuhan dalam negeri masih jauh dibawah hasil produksi. Ini menjadi keputusan yang tidak masuk akal sehat.
“Ketika negara gagal mengimplementasikan regulasi program win-win solution berupa kebijakan DMO dan DPO minyak goreng, sebagai jalur distribusi khusus minyak goreng untuk kepentingan domestik, siapa yang harus bertanggung-jawab? Bukankah itu adalah tanggung-jawab pihak yang ditugasi menjalankan dan mengawasi regulasi? Bukankah mereka yang harus dievaluasi dan dibenahi?” ungkapnya.
Sebab itu, negara harus bertanggung-jawab secara adil dalam memberlakukan larangan ekspor. Maka semestinya negara bertanggung-jawab menampung dan membeli sesuai harga pasar global semua produksi buah sawit petani dan perkebunan terutama semua turunannya yang dilarang untuk ekspor.
“Hak kekuasaan negara terhadap hasil pertanian, perkebunan dan peternakan tidak bisa disamakan dengan kekuasaan negara pada hasil tambang sumber-daya alam yang terkandung didalam perut bumi,” tandas Soaduon Sitorus. (T2)