InfoSAWIT, JAKARTA – Ditengah arus iklim Elnino yang menggerus hasil panen perkebunan kelapa sawit dan fluktuasi harga minyak sawit mentah (CPO) yang cenderung menurun, petani Kelapa sawit di Indonesia, plasma dan swadaya, merasa mendapatkan diskriminasi dari negara tujuan ekspor CPO Indonesia, yaitu Uni Eropa.
Sebagai tujuan ekspor CPO dan produk turunannya, Uni Eropa beranggotakan 27 negara, dimana negara Belanda sebagai pintu masuk bagi CPO dan produk turunannya. Konsumsi CPO sebagai minyak nabati bersama minyak kacang kedelai (soybean) dan biji matahari (sun flower) yang sebagian besar sebagai minyak makanan.
Paska pembatasan penggunaan impor biodiesel berbahan baku CPO, dengan regulasi Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD+) yang mengacu kepada peran konservasi, pengelolaan hutan dan peningkatan stok karbon di hutan.
BACA JUGA: Menko Airlangga: Industri Sawit Mesti Berkelanjutan dan Untuk Kesejahteraan Rakyat
Melalui sertifikasi International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) yang bertujuan membangun sistem sertifikasi biomassa dan bioenergi yang transparan, praktis, dan berorientasi internasional. Produk biodiesel sawit masih bisa masuk pasar Uni Eropa hingga dewasa ini.
Nah, tantangan berikutnya, berasal dari regulasi European Union Deforestation Regulations atau EUDR.
EUDR menurut petani Kelapa sawit bakal mempersulit penjualan CPO dan produk turunannya ke pasar Uni Eropa. Lantaran, pembatasan konsumsi berlandaskan regulasi terus dilakukan Parlemen dan pemerintah Uni Eropa. Keberadaannya bakal mempersulit penjualan minyak sawit asal Indonesia.
BACA JUGA: Uni Eropa Mesti Pertimbangkan Petani Sawit Dalam Kebijakan EUDR
Kendati konsumsi CPO dan produk turunannya kian meningkat, hingga 6 juta ton per tahun. Pasar Uni Eropa mengonsumsinya sebagian besar untuk minyak makanan, hanya sepertiga yang digunakan sebagai bahan bakar biodiesel.