InfoSAWIT, JAKARTA – Kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit dan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar (FPKMS) kembali menjadi sorotan dalam upaya reforma agraria di sektor perkebunan. Pada Senin, 12 Agustus 2024, sejumlah organisasi, termasuk Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, dan IHCS, menyelenggarakan Konferensi Hukum Kemitraan Usaha Perkebunan dan FPKMS dengan fokus menciptakan keadilan bagi petani dan mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Ketua SPKS, Sabarudin menegaskan bahwa konflik dalam kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit serta permasalahan hukum terkait penerapan FPKMS harus menjadi prioritas utama pemerintah. “Pencarian solusi atas konflik kemitraan usaha dan penerapan FPKMS merupakan hal yang mendesak untuk menyelesaikan berbagai konflik yang muncul di berbagai daerah,” ujar Sabarudin dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Rabu (14/8/2024).
Ia juga mengungkapkan bahwa meskipun kebijakan pengembangan sawit melalui pola kemitraan usaha terus mengalami perubahan dengan berbagai skema pembiayaan, pelaksanaan kemitraan ini sering kali tidak mencapai tujuan kesejahteraan petani. “Sering kali justru melahirkan persoalan baru akibat dominasi perusahaan dalam kerjasama pengelolaan lahan dan hasil. Minimnya transparansi dan perjanjian kerjasama yang merugikan petani menjadi masalah utama,” tambahnya.
BACA JUGA: Universitas Trisakti Bergabung dengan RSPO, Menjadi yang Pertama di Indonesia
Sementara, Direktur Sawit Watch, Ahcmad Surambo menyinggung munculnya permasalahan agraria baru di perkebunan sawit akibat tidak terealisasinya FPKMS, yang merupakan kewajiban perusahaan. “Minimnya realisasi FPKMS memicu konflik dengan masyarakat sekitar, menambah rentetan persoalan baru,” jelas Surambo.
Surambo juga menambahkan bahwa konflik tersebut sering kali terjadi karena perbedaan perspektif dalam memaknai FPKMS dan adanya dualisme regulasi yang membuat implementasinya di lapangan menjadi rumit. “Banyak perusahaan memanfaatkan kemelut regulasi di tiga kementerian untuk menghindari kewajiban mereka, yang mengakibatkan konflik terus berlarut-larut tanpa solusi yang jelas,” tegasnya.
Gunawan, Penasehat Senior IHCS, menekankan pentingnya kemitraan usaha perkebunan dan FPKMS sebagai bagian dari reforma agraria melalui redistribusi tanah untuk petani. Ia menegaskan bahwa pelaksanaan kemitraan ini harus didasarkan pada prinsip kekeluargaan, kemitraan yang adil, dan etika usaha.
“Penguasaan negara melalui kebijakan dan pengawasan kemitraan usaha perkebunan sawit dan FPKMS harus diarahkan untuk kemakmuran rakyat, serta mencegah diskriminasi terhadap petani,” pungkas Gunawan.
Konferensi ini menegaskan perlunya intervensi pemerintah dan reformasi regulasi untuk memastikan kemitraan usaha perkebunan dan FPKMS benar-benar dapat memberikan manfaat yang adil bagi petani dan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit di Indonesia. (T2)