InfoSAWIT, DEPOK – Di tengah hiruk-pikuk pembahasan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, suara-suara dari akar rumput mulai menggema. Dari Aula Nusantara Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Depok, Jawa Barat, para pelaku industri kelapa sawit—terutama petani plasma dan swadaya—menaruh harapan dan kegelisahan terhadap kebijakan yang disebut-sebut akan menertibkan kawasan hutan namun berpotensi mengguncang sektor yang menopang ekonomi rakyat.
Koordinator I pada Jampidsus dan anggota Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), Ardito Muwardi, menjadi salah satu sosok kunci dalam pelaksanaan kebijakan ini. Menurutnya, Perpres ini hadir untuk menertibkan kawasan hutan sekaligus memaksimalkan pemanfaatannya. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan adanya ribuan hektare kawasan yang statusnya berada dalam abu-abu hukum, hasil dari proses pelepasan kawasan yang tidak selalu sesuai prosedur.
“Melalui pasal 110A dan 110B dalam UU Cipta Kerja, kami melakukan klarifikasi kepada subjek-subjek hukum yang menguasai lahan,” ujar Ardito saat menjadi pembiacara pada FGD Kajian Peraturan Presiden No 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, dihadiri InfoSAWIT, Rabu (7/5/2025). Hasil dari proses itu bisa berupa penguasaan kembali oleh negara jika ditemukan belum memenuhi aturan, tidak bisa dikuasai atau belum bisa dikuasai.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kaltara Periode April 2025 Naik Rp 94,19/Per Kg
Tercatat Satgas PKH yang dibantu oleh TNI telah melakukan verifikasi terhadap lebih dari 620 ribu hektare lahan, lantas sekitar 399 ribu ha dalam masih proses verifikasi.
Dimana sebanyak 221,8 ribu hektare telah diserahkan kepada PT Agrinas, sementara 216,9 ribu hektare lainnya akan dilakukan pennyerahan dalam tahap kedua, dengan rencana penguasaan kembali terhadap 75 ribu hektare di berbagai wilayah termasuk Aceh, Kalimantan, dan Sumatera.
Namun di balik langkah tegas ini, ada suara lain yang meminta kebijakan ini tidak menjadi beban baru bagi petani. Setiyono, Ketua Aspekpir Indonesia, mengingatkan bahwa kebun sawit rakyat bukanlah sekadar lahan, tapi hasil dari sejarah panjang dan perjuangan kolektif sejak 1979.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kalteng Periode II-April 2025 Turun Tipis Cenderung Stagnan
“Waktu itu kami jalan kaki puluhan kilometer buka kebun, ikut program PIR-Trans. Petani plasma itu bagian dari keberhasilan pemerintah,” ujarnya mengenang masa awal. Kini, setelah puluhan tahun membangun dengan keringat sendiri, tiba-tiba lahan mereka dipatok sebagai kawasan hutan.
Menurutnya, banyak petani swadaya membuka lahan dengan kemampuan terbatas, terkadang dengan bibit seadanya, namun tetap berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Ia menyayangkan ketika kawasan yang sudah bersertifikat dan dibina justru diklaim masuk dalam kawasan hutan, tanpa mempertimbangkan sejarah dan kontribusi sosial-ekonominya.