InfoSAWIT, DEPOK – Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Prof. Eddy Pratomo, menekankan pentingnya kajian mendalam terhadap regulasi kawasan hutan, khususnya Peraturan Presiden (Perpres) yang berkaitan langsung dengan tata kelola hutan nasional. Ia mendorong agar perumusan kebijakan dilakukan secara harmonis, komprehensif, dan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Dalam forum diskusi akademik bersama mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Prof. Eddy menyampaikan bahwa banyak undang-undang lama yang tidak konsisten satu sama lain. “Isu harmonisasi hukum itu sangat dikenal di Indonesia. Mahkamah Konstitusi pun sering kali melakukan uji materi terhadap undang-undang dan peraturan pemerintah yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya saat membuka acara FGD Kajian Peraturan Presiden No 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, dihadiri InfoSAWIT, Rabu (7/5/2025).
Menurutnya, kegiatan FGD ini harus mampu menghasilkan satu rekomendasi konkret bagi pemerintah dan DPR. Hal ini penting mengingat pelaksanaan kebijakan Perpres No 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, mulai berlaku sejak Januari masih tersendat di lapangan. “Kita perlu dorong satu pendekatan hukum yang kuat dan terstruktur,” kata dia.
BACA JUGA: Polemik Perpres No 5 Tahun 2025: Tatkala Petani Sawit Dihadapkan pada Ketidakpastian Kawasan Hutan
Lebih lanjut, Prof. Eddy mengingatkan kembali tentang komitmen Indonesia dalam Paris Agreement 2016, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo. Dalam perjanjian tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 29% pada 2030, dan hingga 41% dengan dukungan internasional. Namun, ia menyebutkan bahwa implementasi di tingkat nasional kerap mengalami hambatan serius.
“Dari Kopenhagen Accord 2009 hingga Paris Agreemnet 2016, kita sudah berkomitmen. Tapi sistem hukum nasional kita seringkali tidak sinkron. Bahkan, beberapa negara besar justru menarik diri dari kesepakatan iklim seperti Paris Agreement, membuat dukungan terhadap climate finance menjadi terhambat,” jelasnya.
Ia juga menyinnggung pentingnya keberadaan kawasan hutan dalam konteks amanat Pasal 33 UUD 1945, yakni bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, banyak kawasan hutan dikuasai oleh korporasi dan individu, termasuk perusahaan sawit, petani, serta masyarakat adat.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kalteng Periode II-April 2025 Turun Tipis Cenderung Stagnan
“Kita harus mempertimbangkan juga bahwa hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi memiliki fungsi masing-masing. Maka Perpres No 5 Tahun 2025 ini harus benar-benar dibahas kembali, apakah perlu diamandemen, atau bahkan dijadikan undang-undang baru dalam rangka pelestarian kawasan hutan secara utuh,” tegasnya.
Prof. Eddy menilai, proses perumusan Perpres tak boleh hanya bersifat top-down, melainkan harus melibatkan partisipasi nyata dari semua pihak. “Jangan sampai TNI, Polri, dan semua badan terkait tidak dilibatkan dalam dialog. Ini harus melibatkan semua stakeholders, mulai dari sektor kehutanan, pertanian, pertambangan, hingga para ahli HAM dan masyarakat adat,” katanya.
Ia juga menekankan perlunya kajian lintas disiplin—hukum, ekologi, keanekaragaman hayati, serta hak masyarakat adat. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan popularitas pengakuan. Harus dicek apakah suatu komunitas memiliki hukum adat yang sah, dan bagaimana konsep mereka bisa diakomodasi dalam satu aturan nasional,” tutupnya.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kaltara Periode April 2025 Naik Rp 94,19/Per Kg
Prof. Eddy berharap diskusi ini mampu menghasilkan rekomendasi yang kuat dan bermanfaat sebagai masukan konkret dalam penyusunan kebijakan hutan yang adil, lestari, dan konstitusional. (T2)