InfoSAWIT, JAKARTA – Program MBG yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia sejak awal Tahun 2025, menjadi momentum besar dalam mendorong pertumbuhan gizi anak-anak di Indonesia sehingga terpenuhi akan gizi makanannya. Namun, berbagai kendala masih dihadapi, terutama persoalan yang menyangkut kesehatan anak-anak.
Sejak Badan Gizi Nasional (BGN) secara resmi memulai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tahun 2025. Pelaksanaan program ini telah dimulai pada 6 Januari 2025, melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan dilakukan secara bertahap, menyesuaikan dengan jadwal masuk peserta didik sekolah.
Berbagai menu makanan yang disediakan dalam program, juga telah dirancang untuk memenuhi standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) harian, dengan porsi makan pagi menyumbang 20-25% kebutuhan gizi harian dan makan siang 30-35%. BGN juga menargetkan wilayah terpencil, terdepan, dan terluar (3T) dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, koperasi, dan pihak swasta, untuk memastikan kelancaran pelaksanaan program MBG.
BACA JUGA: Integrasi Sawit-Sapi di Kalimantan Tengah Jadi Model Pertanian Berkelanjutan
Tujuan dari pelaksanaan program MBG ini, guna meningkatkan status gizi peserta didik, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita melalui penyediaan makanan bergizi sesuai standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) harian. Selain itu, program ini juga memprioritaskan sosialisasi dan edukasi gizi untuk masyarakat.
Melalui Program MBG ini pula, pemerintah tidak hanya bertujuan menyediakan makanan bergizi, tetapi juga mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pola makan sehat dan gizi seimbang. Dengan adanya edukasi ini, diharapkan masyarakat dapat menerapkan kebiasaan gizi yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, program ini juga mendorong pemberdayaan ekonomi lokal melalui pengadaan bahan pangan dari petani, nelayan, dan UMKM setempat.
Menurut Deputi Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional, Nyoto Suwignyo, program MBG merupakan sarana penting guna edukasi anak-anak mengenai konsumsi pangan yang bertanggung jawab. “Melalui MBG, kita dapat menanamkan nilai-nilai keberlanjutan sejak dini, termasuk menghargai makanan dan mengurangi sisa pangan,” ujarnya, pada kegiatan diskusi pertengahan Tahun 2025 lalu.
BACA JUGA: Uni Eropa Banding soal Sengketa Biodiesel, Indonesia Desak Hormati Putusan WTO
Kehadiran program MBG yang dilaksanakan melalui BGN ini, juga mendapat respon dari pengamat gizi makanan sekaligus Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof. Dr. Evi Satispi, M. Si. Menurutnya, pelaksanaan program MBG masih menimbulkan banyak persoalan, dari makanan yang basi hingga makanan beracun dan penyelewengan dana. “Pelaksanaan program MBG masih menghadapi banyak persoalan dewasa ini, dari masalah makanan basi, banyak siswa keracunan hingga penyimpangan dana program MBG itu sendiri”, ungkap Prof Evi kepada InfoSAWIT, saat Kegiatan Jurnalistik Days, Sabtu, (04/10/2025).
Menurut Prof Evi, tercemarnya makanan Persoalan keracunan makanan yang dialami banyak siswa, diduga terjadi akibat adanya penggunaan alat transportasi dari Dapur MBG ke lokasi penerima. Lamanya perjalanan perpindahan sekitar 2 hingga 3 jam perjalanan, diduga menyebabkan makanan tercemar dan menjadi beracun. Seperti yang terjadi pada air dalam kemasan gelas plastik atau botol plastik, apabila terkena suhu panas dalam durasi waktu yang lama, dapat juga tercemar dan dapat beracun apabila dikonsumsi.