Ironisnya, setelah lahan disangkakan masuk kawasan hutan, pelaku usaha langsung dibebani denda administratif yang nilainya dinilai tidak masuk akal. Berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 2025, denda ditetapkan sebesar Rp25 juta per hektare per tahun masa produksi.
“Kalau kebun sudah produksi 10 tahun, dendanya Rp250 juta per hektare. Bayangkan kalau 100 hektare, dendanya Rp25 miliar. Lahannya disita, dendanya jalan, dan pelaku usaha nyaris tak punya ruang membela diri,” ujar Aziz.
Dinilai Tak Berpihak pada Rakyat
Aziz menilai kebijakan kehutanan saat ini semakin menjauh dari kepentingan rakyat. Menurutnya, tak satu hektare pun lahan sitaan diserahkan kepada masyarakat lokal atau masyarakat adat yang selama ini justru hidup berdampingan dengan kebun sawit.
BACA JUGA: Tembus Panggung Global, Koperasi Sawit Petani Kalimantan Raih Skor Tertinggi CDP untuk UMKM
“Kalau memang negara hadir untuk rakyat, bagikan saja lahan sitaan itu. Empat juta hektare bisa menghidupi dua juta kepala keluarga jika masing-masing mendapat dua hektare. Tapi itu tidak dilakukan,” katanya.
Ia juga menyinggung nasib petani kecil dan eks transmigran yang lahannya diklaim sebagai kawasan hutan. Permohonan pelepasan untuk mengikuti program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) kerap mentok, bahkan diarahkan ke skema perhutanan sosial yang statusnya tetap kawasan hutan.
“Kalau untuk perusahaan, aturan bisa diubah dengan mudah. Tapi untuk rakyat, pintunya tertutup rapat,” ujarnya.
BACA JUGA: Berikut Tiga Spesies Kumbang Penyerbuk Sawit Baru dari Tanzania
Di akhir pernyataannya, Aziz mendesak agar publik ikut mendorong pembatalan Permenhut Nomor 20 Tahun 2025. Ia juga meminta pemerintah membentuk tim independen untuk meninjau ulang penetapan kawasan hutan.
“Kalau memang itu kawasan hutan, kembalikan saja jadi hutan. Jangan dilegalkan untuk bisnis. Negara seharusnya berdiri di tengah, bukan membentangkan karpet merah untuk segelintir pihak,” tegasnya. (T2)
