InfoSAWIT, ISLAMABAD – Kenaikan harga impor minyak sawit telah menambah tingkat defisit perdagangan Pakistan, sebab itu pemerintah berupaya mengatasi peningkatan inflasi dan ketergantungannya pada pinjaman luar negeri yang semakin meningkat.
Minyak nabati menjadi salah satu sumber bahan makanan yang penting di Pakistan, sebanyak 80-90% dari total permintaan minyak nabati dipenuhi oleh minyak sawit yang di impor dari Indonesia dan Malaysia.
Merujuk perkiraan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), konsumsi minyak goreng sawit per kapita di Pakistan adalah 24 kg. Minyak sawit di Pakistan digunakan untuk bahan baku berbagai produk seperti vanaspati ghee, coklat, sabun dan berbagai produk roti.
Dilansir Daily Times, negara berkembang seperti Pakistan dengan ekonomi yang rapuh, sangat bergantung pada dukungan internasional dan program bersyarat dari Dana Moneter Internasional (IMF), sehingga memukul ekonomi dari berbagai sisi. Tingkat inflasi yang meningkat, sementara harga listrik kian mahal dan kebutuhan gas harus dipenuhi dengan pembatasan.
Merujuk perkiraan, impor bahan baku pangan di Pakistan akan meningkat secara drastic untuk periode 2021-2022 saat ini dibandingkan periode sebelumnya tahun lalu. Kondisi ini nampak dari peningkatan nilai kebutuhan bahan pangan selama periode Juli-September 2021 yang tercatat naik 66,11% menjadi US$ 18,74 miliar, dibanding tahun lalu pada periode yang sama hanya SU$ 11,28 miliar.
Hingga saat ini, negosiasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan industri di Pakistan masih belum menuju kata sepakat, menyusul tingkat nilai tukar rupee terhadap dolar meningkat dan untuk merasionalisasi bea masuk dan pajak atas impor minyak nabati terutama minyak sawit, yang jumlahnya 90% dari total impor.
Dikutip Asian News International (ANI), pemerintah akan dipaksa untuk mengambil langkah-langkah dalam memodifikasi perjanjian perdagangan yang ditandatangani dengan Indonesia dan Malaysia untuk perlakuan istimewa sejauh menyangkut ekspor minyak sawit ke Pakistan. (T2)