InfoSAWIT, JAKARTA – Lain dahulu, lain pula sekarang. Teringat, di tahun 90-an melintasi perjalanan poros Samarinda-Balikpapan, suasana Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Suharto Kalimantan Timur (Kaltim), hangat menyapa. Pohon bengkirai, dan meranti berdiri tegap menjuntai, seakan membentangkan kanopi alam, yang seketika memanja perjalanan kita, dengan udaranya yang bersih nan dingin. Belum lagi, kehadiran satwa liar yang malu-malu tapi mau, masih berkeliaran di pinggir jalannya.
Ahh.. mengingatnya kembali, tentu akan memberikan banyak kisah, yang memudahkan kita mencipta gaya argumentasi, membanding-bandingkan dengan kondisi yang sedang terjadi kini ya? Dimana fenomena Deforestasi kian nyata terjadi di alas belantara Kalimantan Timur, yang terdesak oleh ragam tuntutan pemenuhan kebutuhan gaya hidup apa-saja manusia modern.
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) luput menjadi fenomena tahunan di wilayah eks hutan lindung Bukit Suharto ini. Dan perlahan tapi pasti, mampu mengikis fungsinya, sebagai hutan campuran Dipterocarpaceae dataran rendah, hutan pantai, semak belukar serta alang- alang.
Sehingga, tak heran arang-belukar, menjadi pemandangan lazim tergambar di kanan-kiri jalan Samarinda-Balikpapan, kala musim kemarau hadir. Nah, namun berbicara Deforestasi, selain faktor alam-kemarau, akan banyak berbicara pula pada fenomena Deforestasi sebagai aktivitas eksploitasi yang sengaja –tidak sengaja- dilakukan manusia. Semuanya, terkadang sadar atau tidak –pula-, dilakukan atas nama optimalisasi hak ekonomi masyarakat daerah kan?
Di Kaltim sendiri, sedari dahulu, selain hasil kayu yang komersil tinggi, Tahura Bukit Suharto yang mengandung batu bara, sudah efektif didulang, mendukung pembiayaan pembangunan daerah. Termasuk, Deforestasi area Tahura yang digunakan sebagai badan jalan Tol Samarinda-Balikpapan, dan kini –malah- menjadi kebanggaan jalan tol pertama yang ada di Kalimantan.
Diyakini kegiatan tersebut bakal memunculkan dampak positif, dan negatif, aktivitas deforestasi pertambangan Kaltim dari dahulu seolah cuek-cuek saja, dan –malah- tetap saja berlangsung hingga kini.
Nah, sampai di titik ini, ketika kita bertemu dengan istilah eksploitasi, pastilah seketika jua mengundang dinamika yang bertarung sengit. Dimana isu-isu lingkungan akan menyeruak! Terutama di tengah himpitan dunia akan tuntutan kebutuhan energi terbarukan (ET), sebagai pengganti energi fosil yang berjumlah terbatas di belantara hutan alam Kaltim.
Dan tantangan di masa depan nanti, seolah menyiratkan sebuah tuntutan, jika Pemerintah harus segera menyediakan ET, dengan tidak mengusik alas hutan alam lagi, alias tidak menyipta Deforestasi apa saja. Namun mungkinkah itu akan terjadi ya? Ini akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama, yang –memang- tak akan mudah kan?
Dan jika dibalik! Akan menjadi menjadi wajar pula, jika maksud penekanan tuntutan akan kehadiran ET, diharapkan juga akan mampu menahan laju perubahan iklim, yang terlanjur massif terpicu cemaran karbon energi fosil. Dan atas hal itu, pastilah kita semua akan menyetujuinya kan?
Lantas, doktrin publik atas presepsi-presepsi terkait isu lingkungan, harusnya juga layak menguji logika kita selanjutnya. Benarkan kegiatan Deforestasi, menghambat proses Dekarbonisasi ya? Dan apakah –memang- sudah tidak ada jalan tengah, dalam mengevaluasinya?
Nah, ruang Demokrasi yang tercipta kini, otomatis akan bergemuruh menimpalinya dengan berbagai argumen. Ya kembali lagi, pasti ada pihak yang pro, dan juga ada saja ada yang kontra. Dari sinilah, istilah Deforestasi akan menyemburkan ragam definisi, yang kita – memang- harus mulai pahami bersama. Dan akhirnya akan mampu membentuk presepsi, guna membulatkan dukungan dalam memaknai istilah eksploitasi itu kemudian.
Di ujung perbincangan, pasti akan bertambah sengit lagi? Ketika kita sudah mendapati satu kata, yakni “Sawit” yang lantas segera menjadikannya kata kunci, guna membebankan tanggung jawab atas maraknya Deforestasi yang terjadi di Indonesia kini. Wujudnya, tentu lewat tebaran presepsi negatif, yakni Geliat sawit Indonesia, yang sudah dianggap sebagai penghambat proses Dekarbonisasi, dan merangsang laju perubahan iklim masa depan.
Oleh karena itu, seolah tersirat muncul sebuah tuntutan massif jika invasi industri sawit sebaiknya dihentikan saja selamanya?
Padahal faktanya Deforestasi Indonesia mampu ditekan, dan mampu menurun drastis sebanyak 75% di tahun 2019-2020. Pemerintah mengumumkan, jika penurunan Deforestasi – malah- disumbang oleh penurunan Deforestasi bruto hutan tanaman sebesar 99%, dari luasan 277.700 hektar di 2018-2019, menjadi hanya 2.181 hektar saja Di 2019-2020. Hal itu sudah menjadi kampanye publik masssif di dalam laman media sosial @madaniberkelanjutan.id
Ini sebuah kabar baik bukan? Artinya, memang masih ada jalan keluar mengelola isu-isu Deforestasi, untuk kembali sama-sama hidup berdampingan dengan aktivitas eksploitasi apa saja kan?
Nah, angka di atas adalah secuil data yang pastilah akan mempermudah kita membanding- bandingkan geliat sawit Indonesia yang terjadi dahulu dan kini. Dan akhirnya akan
memampukan kita, untuk lincah dan arif mengkomodasi semua argumentasi kepentingan kehidupan apa saja di masa kini, demi kehidupan yang pantas di masa depan kita nanti.
Dan muaranya, cepat atau lambat, geliat industri sawit harusnya juga akan mampu menciptakan sistem perekonomian ideal yang termaktub dalam UUD pasal 33 ayat (4), yakni perekonomian berasaskan demokrasi ekonomi. Dimana perwujudannya akan mampu mengenakan prinsip-prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan beserta kesatuan ekonomi nasional.
Nah, secuil gambaran di Tahura Suharto Kaltim, bisalah menjadi potret terkini yang jua – pasti- bisa menjadi bayangan potret di banyak wilayah di Nusantara, yang akan bersinggungan dengan konteks sebab-akibat sebuah aplikasi Demokrasi ekonomi tadi.
Dan –memang- hal itu sudah dan sedang diperjuangkan untuk diterjemahkan ke dalam aktivitas eksploitasi apa saja, termasuk ya industri sawit terkini kan?
Dan untuk memahami semua dinamika Deforestasi yang menjadi atensi Geliat Sawit itu. Semestinya kita juga harus mengenakan kaca mata yang sama, untuk berbicara pada konteks- konteks demokrasi ekonomi. Dimana, sejatinya demokrasi ekonomi sudah berupaya menyediakan ruang gerak bagi kepentingan perekonomian Indonesia, secara luas.
Nah, permasalahannya, maukah kita duduk bersama, untuk memotret indahnya geliat demokrasi ekonomi bersama atas massifnya industri sawit kini? Dan selanjutnya memampukan kita menimang-nimang peran kontribusi sawit yang bernilai vital bagi pembangunan Indonesia dalam konteks seluas-luasnya? Mari!
Ditulis: Alfian Arbi
Nominator Sawit Fest 2021 Kategori Lomba Esai / tulisan esai ini telah melalui proses editing, lebih lengkap di https://sawitfest.infosawit.com/
Tentang Sawit Fest :
Sawit Fest 2021 mendukung peningkatan literasi sawit bagi masyarakat pada umumnya dan generasi muda pada khususnya guna memberikan gambaran utuh mengenai keberadaan industri minyak sawit. Sekaligus, bertujuan memberikan pemahaman yang benar mengenai keberadaan dan kontribusi minyak sawit, bagi negara, sosial dan lingkungannya.
Sawit Fest 2021 mendapatkan dukungan pendanaan Badan Pengelola DanaPerkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Bumitama Gunajaya Agro Group, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asian Agri Group, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk, dan PT Cisadane Sawit Raya Tbk., dengan mitra strategis Media InfoSAWIT dan Palm Oil Magazine.
Sawit Fest pula merangkul para seluruh pemangku kepentingan minyak sawit seperti pemerintah, pelaku usaha, periset, organisasi, aktivis sosial dan lingkungan serta pihak lainnya, untuk berdiskusi membangun minyak sawit Indonesia berkelanjutan.
Apabila membutuhkan informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kami, Ignatius Ery Kurniawan, melalui Handpone WA : 081284832789, email : sawit.magazine@gmail.com