,

Potret Pekerja Perempuan Sawit

oleh -1076 Dilihat
Foto: Suwardi/SawitFest 2021

InfoSAWIT, JAKARTA – Indonesia merupakan negara dengan lahan kelapa sawit terluas di dunia. Berdasarkan data dari United States Departement of Agriculture  (USDA) pada tahun 2019,   luas lahan tanaman menghasilkan (mature) kelapa sawit Indonesia diperkirakan mencapai 11,75 juta ha atau 49,5% dari total dunia yang mencapai 23,74 ha.

Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 3,47% pada tahun 2017 atau merupakan urutan pertama di sektor pertanian, peternakan, perburuan, dan jasa pertanian (BPS 2018). Persentase tersebut menjadikan perkebunan kelapa sawit sampai saat ini masih menjadi salah satu usaha yang paling diminati dan menjadikan sektor industri ini menjadi salah satu titik perhatian pemerintah, karena industri ini memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional.


Keberhasilan pembangunan melalui kehadiran industri perkebunan kelapa sawit ini juga tidak terlepas dari adanya proses untuk memberi penguatan untuk berdaya kepada para pekerjanya, terutama pekerja perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan pekerja perempuan dalam relasi pekerjaan tidak dapat dihilangkan, namun pekerja perempuan juga masih kerap termarginalisasikan oleh konsep sosial dan budaya. Perlakuan diskriminatif yang cenderung menyudutkan kerap kali diterima oleh pihak perempuan dalam dinamika kehidupan kerja dan keseharian mereka. Kondisi perempuan saat ini mengalami kekerasan, ketidakadilan, bahkan hingga menjadi korban eksploitasi dan pelecehan.

Padahal seharusnya perempuan memiliki hak yang sama dalam mengakses sumber daya yang tersedia. Data yang tertuang pada Kinerja Human Development  Reports UNDP (2013) mengungkapkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-108 dari 187 negara yang mana perempuan mengalami ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan, pemberdayaan, dan pasar kerja. Hal ini didukung oleh beberapa fakta bahwa memang perempuanlah yang paling banyak tertinggal dalam memanfaatkan hak maupun akses terhadap pelbagai layanan publik. Pembangunan sebagai bentuk memberdayakan perempuan diperlukan untuk menjadi solusi dalam upaya peningkatan kesejahteraan mereka.

Pratiwi (2020) menyatakan bahwa dimensi kerja dan hidup layak merupakan aspek penting untuk dikaji dalam isu perpekerjaan, namun dalam konteks pekerja perkebunan kelapa sawit, kajian atas kerja dan hidup layak tidak cukup sebatas pada arena ekonomi mereka saja, sebab ada berbagai lapisan; kondisi dan latar belakang yang kemudian memengaruhi dan menjadi indikator penting dalam mengukur kesejahteraan pekerja, yakni tingkat keberdayaan pada arena sosial dan lingkungan kerja mereka. Oleh karena itu, dengan hadirnya industrialisasi seperti industri perkebunan kelapa sawit, pembangunan tidak hanya terbatas pada persoalan ekonomi saja, tetapi lebih dari itu tentang memberi pengakuan, penguatan, dan perlindungan terutama kaum pekerja perempuan pada industri tersebut. Lalu, sudah berdayakah mereka?

Perbincangan yang muncul terkait dengan industri perkebunan kelapa sawit kerap kali hanya berputar dan berfokus pada persoalan ekonomi dan lingkungan. Meski kedua topik tersebut sama pentingnya untuk dibincangkan, namun isu perpekerjaan di sektor industri perkebunan kelapa sawit kerap dan bahkan sering kali luput, baik dalam perbincangan di level kebijakan maupun gerakan.

Menurut Pratiwi (2020), meski pada faktanya laki-laki dan perempuan berkontribusi signifikan terhadap keberlangsungan industri perkebunan kelapa sawit, namun ada beberapa bentuk dari segregasi gender. Selain dari status kerja dan upah, bentuk kerja di perkebunan antara laki-laki dan perempuan pun berbeda dan yang kemudian membentuk dan melanggengkan pelabelan “kerja perempuan” dan “kerja laki-laki”.

Kondisi tingkatan kerja layak dan hidup layak para pekerja perempuan dalam bagian ini kemudian menjadi penting untuk diuraikan dalam indikator tingkat keberdayaan agar mampu memperlihatkan kondisi kehidupan dan hubungan persoalan yang satu dengan lainnya. Demikian persoalan yang dihadapi pekerja perempuan perkebunan kelapa sawit tidaklah tunggal dan terbatas pada ekonomi mereka saja, melainkan multidimensi dan saling berinteraksi.

Persoalan multidimensi yang dihadapi pekerja perkebunan kelapa sawit dengan ragam identitas kelas, jenis kelamin, usia, serta etnisitasnya mengakibatkan dampak yang berlapis dan berbeda dari tiap-tiap identitas. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan pekerja perkebunan kelapa sawit menghadapi persoalan yang khas yang diakibatkan karena konstruksi sosial atas identitas gendernya yang termanifestasi dalam konteks kerja mereka sebagai pekerja di perkebunan kelapa sawit.

Kondisi kerja pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di industri perkebunan kelapa sawit nyaris serupa. Mereka harus menghadapi kondisi topografis yang sulit serta tidak dilengkapi dengan peralatan kerja yang laik. Situasi ini makin diperparah dengan kondisi geografis perkebunan kelapa sawit yang besar dan terpencil, menyebabkan pekerja dan keluarganya sering kali tinggal di daerah yang terisolasi dengan mobilitas sosial dan akses informasi yang sangat terbatas, yang pada akhirnya menyebabkan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perusahaan meski berada dalam kondisi hidup yang kurang layak.

Kondisi geografis yang sulit, lokasi kerja yang terisolasi, serta minimnya akses informasi dan sarana publik membuat pekerja perempuan pada industri perkebunan kelapa sawit sangat rentan dilanggar hak-haknya dan tidak berdaya. Hal ini juga makin diperjelas dengan adanya paham patriarki yang kian lama melekat dengan menghasilkan keputusan dan sikap yang bias gender, serta telah membuat perempuan harus berjuang lebih berat untuk mencapai suatu kedudukan. Meskipun tidak semua perempuan berada pada skema dan bentuk kerja yang demikian, namun penting untuk ditelaah secara mendalam kondisi-kondisi tersebut.

Pekerja perempuan perkebunan kelapa sawit memiliki kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang khas baik dalam praktik kerja maupun kebijakan. Kekhasan kondisi sosial, ekonomi, politik ini ditandai oleh berbagai hal terkait mekanisme kerja mereka, mulai dari hubungan kerja, fasilitas kesejahteraan, hak berserikat, perlindungan sosial, serta status politiknya sebagai warga suatu daerah. Dengan demikian, dalam penelitian ini juga kemudian berfokus pada dua identitas politik pekerja perempuan perkebunan kelapa sawit secara umum, yakni pekerja perempuan perkebunan kelapa sawit sebagai kelas pekerja dan pekerja perempuan perkebunan kelapa sawit sebagai warga/bagian dari masyarakat di suatu daerah.

Hak normatif, berserikat, dan hak atas perlindungan sosial bagi pekerja perempuan perkebunan kelapa sawit telah diatur dalam berbagai kebijakan. Hak-hak normatif pekerja  perempuan  perkebunan  kelapa  sawit  dan  kesejahteraanya  tidak  hanya tertuang pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi juga UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Selain itu, pekerja perempuan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari kelas pekerja juga mendapatkan hak yang  sama untuk  berserikat  dan  dijamin  penyelesaian hubungan  industrialnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Setelah kemerdekaan Indonesia, kasus perbudakan di tanah Sumatra Utara sudah dilupakan, baik di Belanda maupun di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Minasny (2020) yang menyatakan bahwa perdagangan budak masa kolonial yang terjadi di Indonesia sudah dilupakan, terutama di Sumatra Utara yang terjadi sekitar 150 tahun lalu, di mana Belanda terlibat perdagangan manusia untuk tenaga kerja perkebunan yang disebut dengan istilah kuli kontrak.

Sehingga, hal inilah yang menyebabkan kemiskinan berlanjut atau kemiskinan turunan. Hal tersebut juga tampak pada suatu dampak bahwa kuli kontrak juga masih dapat dirasakan sampai sekarang dengan keturunan para pekerja yang masih tinggal di perkebunan yang tidak pernah terlepas dari stigma kuli kontrak.

Daerah Sumatra Utara saat ini dikenal menjadi daerah perkebunan. Namun, warisan sistem perkebunan zaman Belanda tampak masih diterapkan. Setiap kebun memiliki administrator, asisten kebun, kerani, mandor, dan pekerja yang disebut sebagai buruh. Walaupun para pekerja sekarang tidak lagi terikat dalam kontrak, namun upah kerja masih dapat dikategorikan minimum. Kendati demikian, para pekerja perempuan diuntungkan oleh beberapa hal, seperti adanya jaminan sosial dari perusahaan yang dapat dimanfaatkan oleh mereka untuk mencukupi kebutuhan di hari tua.

Kehidupan dan upah layak yang menjadi hak setiap pekerja dan telah dijamin konstitusi sering kali diterjemahkan berbeda oleh kepentingan manajemen hampir di seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Isu dan permasalahan utama yang terus mendera pekerja perkebunan kelapa sawit secara umum adalah status ketenagakerjaan, hubungan industrial, sarana Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), kesehatan dan upah rendah serta beban dan target kerja yang tinggi. Dalam hal permasalahan upah, menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah pekerja dapat dibayar berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil.

Setiap pekerja perempuan yang mendapatkan target dan hasil yang berlebih, maka akan mendapatkan premi yang dibayar berbeda sesuai bagian pekerjaan yang dia kerjakan, serta premi ini dihitung dengan capaian per hektare (ha). Produksi kelapa sawit itu satu-kesatuan dari banyak jenis pekerjaan yang sama-sama penting dan saling bergantung satu sama lain. Hal tersebut dapat dikatakan juga bahwa semua jenis pekerjaan pekerja perkebunan kelapa sawit itu adalah sebuah sirkulasi dan siklus yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya sepanjang waktu. (*)

 

Penulis: Ahmad Rinaldy Siregar

 

Nominator Sawit Fest 2021 Kategori Lomba Esai / tulisan esai ini telah melalui proses editing, Judul asli: Nestapa Pekerja Perempuan Industri Perkebunan Kelapa Sawit (Telaah Sosial Menilai Keberdayaan Pekerja Perempuan diTanah Sumatra Utara),  lebih lengkap di SAWIT FEST 2021  

 

Tentang Sawit Fest :

Sawit Fest 2021 mendukung peningkatan literasi sawit bagi masyarakat pada umumnya dan generasi muda pada khususnya guna memberikan gambaran utuh mengenai keberadaan industri minyak sawit. Sekaligus, bertujuan memberikan pemahaman yang benar mengenai keberadaan dan kontribusi minyak sawit, bagi negara, sosial dan lingkungannya.

Sawit Fest 2021 mendapatkan dukungan pendanaan Badan Pengelola DanaPerkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Bumitama Gunajaya Agro Group, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asian Agri Group, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk, dan PT Cisadane Sawit Raya Tbk., dengan mitra strategis Media InfoSAWIT dan Palm Oil Magazine.

Sawit Fest pula merangkul para seluruh pemangku kepentingan minyak sawit seperti pemerintah, pelaku usaha, periset, organisasi, aktivis sosial dan lingkungan serta pihak lainnya, untuk berdiskusi membangun minyak sawit Indonesia berkelanjutan.

Apabila membutuhkan informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kami, Ignatius Ery Kurniawan, melalui Handpone WA : 081284832789, email : sawit.magazine@gmail.com

Dapatkan update berita seputar harga TBS, CPO dan industri kelapa sawit setiap hari dengan bergabung di Grup Telegram "InfoSAWIT - News Update", caranya klik link InfoSAWIT-News Update, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bisa juga IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


Bila Anda memiliki informasi tentang industri sawit, Silahkan WhatsApp ke Redaksi InfoSAWIT atau email ke sawit.magazine@gmail.com (mohon dilampirkan data diri)

Untuk informasi langganan dan Iklan bisa WhatsApp ke Marketing InfoSAWIT_01, dan Marketing InfoSAWIT_02 atau email ke sawit.magazine@gmail.com