InfoSAWIT, JAKARAT – Tercatat ada beberapa tantangan yang dihadapi para pihak dalam memperkuat proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat. Pertama, pembentukan Perda memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Satu Perda rata-rata membutuhkan 1 sampai 2 tahun, bahkan ada yang lebih lama lagi. Juga memerlukan biaya minimal sekitar 700 juta – 1 milyar/tahun. Sementara itu, substansi Perda tersebut secara umum mengatur tentang tata cara pengakuan masyarakat adat, sehingga memerlukan berbagai aturan turunan yang memerlukan komitmen kepala daerah untuk melaksanakannya. Jika tidak dibuat aturan turunannya, maka Perda tersebut mangkrak tidak dapat dilaksanakan.
Kedua, masih sedikit kepala daerah yang memiliki tanggung jawab dan kepemimpinan untuk menyelenggarakan pengakuan masyarakat adat. Hal ini menyebabkan belum adanya kelembagaan di daerah yang memiliki tugas khusus dan dibekali dengan anggaran yang memadai untuk melakukan identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat.
Ketiga, rendahnya kapasitas kelembagaan dan staf untuk melaksanakan kegiatan teknis terkait penyusunan pedoman dan pelaksanaan tahapan-tahapan pengakuan masyarakat adat seperti yang diatur dalam kebijakan daerah, maupun peraturan perundangan lainnya.
“Yang keempat, rendahnya dukungan kepada masyarakat adat dalam proses pemetaan partisipatif wilayah adat dan fasilitasi penyiapan data yang memadai sehingga memenuhi persyaratan teknis dan substantif seperti yang diatur dalam kebijakan daerah maupun paraturan-perundangan,” ungkap Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo, dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Selasa (9/8/2022).
Sementara, di beberapa daerah, masyarakat adat mengambil peluang untuk mempercepat proses pengakuan hak masyarakat adat karena sudah ada kerangka hukum dan kebijakan, serta adanya dukungan politik dan kepemimpinan kepala daerah. Namun, saat ini banyak terjadi pergantian kepemimpinan kepala daerah karena masa jabatan berakhir. Pelaksana tugas kepala daerah dikhawatirkan tidak melanjutkan program tersebut.
Menghadapi tahun politik saat ini hingga nanti Pemilihan Umum tahun 2024, urusan penyelenggaraan pengakuan masyarakat adat terancam berhenti. Sementara pelaksanaan proyek-proyek strategis nasional seperti pembangunan Ibukota Nusantara (IKN), food estate, industri pariwisata super prioritas, semakin gencar dan mengancam keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR perlu segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Begitu juga, pemerintah daerah perlu segera membentuk dan melaksanakan kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) adalah lembaga tempat pendaftaran (registrasi) wilayah adat. BRWA dibentuk tahun 2010 atas inisiatif Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), dan Sawit Watch (SW). (T2)