InfoSAWIT, JAKARTA – Kemitraan sebagai kunci kesejahteraan petani sawit hanyalah jargon semata, menurut Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) kemitraan di perkebunan sawit terutama pola bagi hasil dalam berbagai skema termasuk manajemen satu atap telah menjerumuskan masyarakat di desa pada kemiskinan, konflik yang berujung pada hilangnya tanah dan ancaman deforestasi yang makin meluas di wilayah desa-desa di Indonesia.
Berbagai cara dan promosi skema-skema tersebut dari kalangan pengusaha sawit sebagai success story mereka dalam pemberdayaan petani maupun pengembangan sawit rakyat hanya akal-akalan dari para pengusaha yang rakus, karena dalam banyak kasus yang ada, mayoritas petani plasma terlilit hutang bertahun-tahun, konflik terjadi dimana-mana karena hilangnya lahan akibat skema kemitraan yang manipulatif dan tidak transparan serta tidak sah secara hukum (illegal).
Kepala Advokasi SPKS, Marselinus Andri mengatakan 10 temuan utama hasil investigasi yang dilakukan The Gecko Project tentang skema kemitraan di perkebunan sawit merupakan fakta yang serupa terjadi dibanyak kasus kemitraan di perkebunan sawit di berbagai daerah, dan ini menunjukkan bahwa skema kemitraan yang selalu dijadikan success story gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa dan sebaliknya menjerumuskan mereka pada kemiskinan karena hilangnya pendapatan dan tanah mereka.
BACA JUGA: 1.000 Petani Sawit Anggota SPKS Didorong Terapkan Skim ISPO & RSPO di 2023
Dalam temuan The Gecko Project 2022, masyarakat yang terikat dalam skema plasma memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan. Berdasarkan kajian-kajian lepas yang ada, kebun “plasma” dapat menghasilkan keuntungan lebih dari Rp 22 juta per hektar tiap tahun. Para petani sawit mandiri, yang menggarap kebun tanpa dukungan perusahaan perkebunan, bisa memperoleh keuntungan lebih dari Rp 15 juta per hektar tiap tahun. Namun, dari beberapa kasus plasma yang mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp 2,5 juta.
“Perusahaan mendapat banyak keuntungan dari skema kemitraannya dengan masyarakat, apalagi dalam pola bagi hasil yang mereka kelola secara penuh dari pembukaan kebun hingga pemanenan buah, misalnya melalui mekanisme penyerahaan lahan dari masyarakat mereka dapat memperluas areal konsesi agar produksi bahan baku terjamin serta biaya pembukaan lahan ditanggung masyarakat dengan skema kredit dimana perusahaan menjadi avalis,” tutur Andri dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, belum lama ini.
Bahkan, dalam catatan SPKS, Pendapatan petani plasma umumnya sangat rendah bahkan kadang nihil dan tidak cukup untuk membayar angsuran hutang kredit, dan ini terjadi karena rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar agronomis yang ditetapkan pemerintah. “Serta faktor lainnya seperti potongan hutang, sehingga mereka dimobilisasi tanpa transparansi melalui koperasi untuk mengajukan hutang baru mengganti kerugian produksi bahkan pembayaran angsuran hutang kredit yang pada akhirnya terjerat berpuluh puluh tahun terlilit hutang dan mereka sama sekali tidak punya pilihan untuk keluar dari skema yang buruk ini,” tegas Andri .
BACA JUGA: Berikut Tiga Keunggulan Substansial Kelapa Sawit, Karunia Untuk Indonesia
Lebuh lanjut tutur Andri, situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cenderung hanya menguntungkan pihak perusahan sebagai mitra, dan sayangnya peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi tidak dilakukan, misalnya tindakan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) yang tidak berjalan, hanya ketika fasilitasi di awal dan timbulnya konflik dan aksi protes dari masyarakat yang menjadi korban.
Serupa dengan temuan investigasi The Gecko Projec, Andri mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan penghasilan petani plasma yang sangat rendah bahkan jauh di bawah UMP, pendapatan pada petani swadaya jauh lebih baik, dari kajian yang dilakukan SPKS pada 4 kabupaten penghasil sawit, rata-rata penghasilan petani swadaya mencapai Rp 25 juta per hektar tiap tahun dengan berbagai karateristik masalah yang ada, jika dibandingkan dengan petani plasma yang rata-rata hanya mendapatkan 2,5 juta per hektar tiap tahun, dan ini ironis padahal pengelolaan plasma harus memenuhi standar pembiayaan serta standar teknis lainnya mulai dari pembangunan, perawatan, pemanenan untuk menunjang produksi dan produktivitas yang tinggi.
“Skema kemitraan dengan mekanisme penyerahan lahan dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan masyarakat dengan pola bagi hasil sudah tidak relevan lagi, sehingga sudah seharusnya pemerintah meninggalkan skema yang sudah usang dan bermasalah seperti ini, dan itu menjadi solusi agar mengatasi dan meminimalisir terjadinya konflik agaria perkebunan dan konflik sosial lainnya yang melibatkan masyarakat yang meluas di desa,” tandas Andri. (T2)