InfoSAWIT, JAKARTA – Diungkapkan Deputi Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, ancaman paling nyata yang akan muncul akibat program biodiesel sawit adalah ekspansi lahan untuk memenuhi kebutuhan energi baru tersebut. Pengembangan biodiesel punya risiko yang justru kontradiktif dengan upaya penurunan emisi dan berdampak buruk pada lingkungan.
Tercatat Sebanyak 80-90 persen emisi dihasilkan pada tahap perkebunan dari alih fungsi lahan, apalagi jika dibuka di lahan gambut. Andi mengingatkan pemerintah bahwa transisi energi bukan hanya sekedar substitusi energi, namun juga harus memperhatikan aspek keberlanjutannya. “Untuk itu, menjamin penerapan prinsip sustainability dari hulu hingga hilir ini menjadi kunci penting,” ujar dia, dalam rilis yang diterima InfoSAWIT, Minggu (5/2/2023).
Senada diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa program Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia berkorelasi dengan deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dan memperburuk perubahan iklim yang telah terjadi.
BACA JUGA: Alokasi B35 Capai 13,15 Juta Kiloliter, Tantangannya Pada Stabilitas Oksidasi Saat Distribusi
Studi mencerminkan peningkatan permintaan biodiesel berbasis CPO diikuti dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit, dimana dalam kurun waktu 2014 hingga 2020, terjadi peningkatan 4,25 juta hektare lahan sawit. “Dan laju peningkatan terbesar terjadi setelah 2016, tepat setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif atau subsidi untuk sawit lewat BPDPKS,” tuturnya.
Mengingat berbagai risiko yang dihadapi jika hanya mengandalkan biodiesel berbasis komoditas sawit, ujar Fabby, maka perlu pengembangan diversifikasi bahan baku selain CPO. “Negara kita ini sangat kaya, namun kita masih minim dalam mengeksplorasi pemanfaatan potensi bahan baku, nah mungkin dana BPDPKS bisa dialihkan untuk riset mencari potensi lain itu,” ujar dia.
BACA JUGA: Petani Sawit SPKS: Mandatori B35 Hanya Untungkan Pelaku Usaha
Di samping dampak lingkungan, Fabby juga menilai ada risiko dampak ekonomi dan sosial seperti konflik tenurial yang berpotensi muncul dari pengembangan biodiesel berbasis sawit. Untuk itu, ujar dia, penetapan standar keberlanjutan menjadi penting. “Parameter yang dilihat bukan hanya dampak lingkungan, tapi aspek ekonomi-sosial juga harus dimasukkan dalam standar berkelanjutan,” tuturnya. (T2)