InfoSAWIT, JAKARTA – Indonesia, sebagai salah satu produsen utama kelapa sawit di dunia, telah mengambil komitmen serius untuk menerapkan praktik sawit berkelanjutan. Meskipun berbagai regulasi telah diberlakukan, termasuk Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), namun penerimaan sertifikat berkelanjutan masih jauh dari harapan, terutama di kalangan petani kelapa sawit.
Pada kenyataannya, hanya sedikit kelompok petani atau koperasi pekebun yang berhasil memperoleh sertifikat ISPO. Ini menjadi perhatian khusus karena, jika dilihat dari komposisi kepemilikan lahan sawit di Indonesia, petani memiliki porsi hingga 41% dari total tutupan lahan sawit yang mencapai 16,38 juta hektar. Artinya, sebagian besar lahan sawit di Indonesia dipegang oleh petani, dan keterlibatan mereka dalam praktik berkelanjutan menjadi kunci untuk mencapai tujuan ini.
Menurut Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi), lembaga yang menjadi payung bagi petani sawit bersertifikat ISPO dan RSPO, fokus penerimaan sertifikat berkelanjutan baru terlihat di 7 provinsi, termasuk Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Namun, data menunjukkan bahwa baru sekitar 0,2% lahan petani kelapa sawit yang telah bersertifikat minyak sawit berkelanjutan.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Naik 0,41 Persen Pada Senin (25/3), Demikian Pula Di Bursa Malaysia
Sementara RSPO mencatat bahwa penggunaan minyak kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia masih rendah, hanya mencapai 2%, setara dengan 200 hingga 300 ribu ton. Mayoritas produksi sawit yang bersertifikat RSPO diekspor ke luar negeri, dengan hanya 2% yang tersedia untuk pasar domestik. Bahkan, hanya satu merek minyak goreng yang telah tersertifikasi RSPO di Indonesia, yaitu Super Indo yang diproduksi oleh Wahana Citra. RSPO berharap merek lain akan menyusul untuk mendukung upaya energi bersih dan berkelanjutan.
Guna mengatasi tantangan ini, muncul inisiatif penerapan Jurisdictional Program (JP). Riset JP saat ini sedang berlangsung dengan dukungan beberapa lembaga, seperti FKMS, UPR, dan Jikalahari, yang semuanya didukung oleh Walmart Foundation. Tujuan utama riset ini adalah meningkatkan kesiapan empat kabupaten produsen kelapa sawit, yaitu Pelalawan, Sintang, Pulang Pisau, dan Kutai Kertanegara, untuk mengimplementasikan program yurisdiksi (JP).
Riset ini berfokus pada pendekatan partisipatif, multistakeholder, dan inklusif gender. Dengan memprioritaskan empat kabupaten produsen kelapa sawit, riset bersama ini bertujuan menciptakan dasar pengetahuan yang responsif secara lokal. Pentingnya melibatkan semua pihak, riset ini juga berfokus pada pembangunan basis pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik setiap kabupaten.
BACA JUGA: Pj. Bupati Sanggau: Tata Kelola Sawit Memperbaiki Kondisi Buruh di Perusahaan Sawit
Proses co-design menjadi landasan riset bersama ini, melibatkan pemangku kepentingan setempat untuk mengembangkan Theory of Change, Theory of Action, dan Monitoring Evaluation Framework (TTM). Langkah ini memastikan bahwa implementasi JP di tingkat kabupaten dan nasional dapat mencapai hasil yang diinginkan. Nah guna mengetahui lebih lanjut isu tersebut bisa dibaca pada Rubrik Fokus kami pada Edisi Januari 2024.
Pada edisi Januari 2024 ini, kami juga mengupas beberapa tema lain yang tak kalah menarik, seperti pada Rubrik Teropong yang membahas kemitraan sawit saat ini tak hanya sebatas pola inti plasma yang berkaitan dengan pola budidaya kelapa sawit saja, lantaran seperti petani sawit di Desa Wonorejo, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, pola kemitraan itu dikembangan juga untuk budidaya peternakan sapi.
Untuk lebih lengkapnya baca Majalah InfoSAWIT edisi Januari 2024