InfoSAWIT, JAKARTA – Perkebunan kelapa sawit di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, seharusnya menjadi pilar penting dalam mendukung kesejahteraan masyarakat lokal melalui skema plasma 20%. Namun, di tengah kemajuan ini, muncul sejumlah masalah sosial yang menghambat perkembangan, terutama terkait konflik tapal batas antar desa dan pola manajemen perkebunan sawit.
Yusuf, seorang petani sawit asal Riam Durian, Kecamatan Kotawaringin Lama, mengungkapkan bahwa salah satu masalah utama yang dihadapi adalah penerapan pola manajemen “Satu Atap” oleh perusahaan sawit yang mengelola perkebunan. Pola ini menggabungkan beberapa desa di bawah satu pengelolaan, sering kali memicu ketegangan antar masyarakat desa karena ketidakjelasan batas wilayah.
“Lokasi kebun kemitraan yang dikelola perusahaan sering kali berada di desa lain, yang menyebabkan ketegangan dengan masyarakat setempat. Kami juga ingin memiliki hak yang sama atas lahan tersebut,” ujar Yusuf.
BACA JUGA: Catat Batas Ekspansi Perkebunan Sawit di Indonesia Hanya Capai 18,15 Juta Hektar
Kekhawatiran masyarakat semakin besar mengingat banyak dari mereka memiliki lahan turun-temurun yang telah dikelola selama ratusan tahun. Yusuf mencontohkan situasi di Kotawaringin Lama, yang sudah berdiri selama 450 tahun. Meskipun jarak lahan masyarakat hanya 500 meter dari pusat desa, lahan-lahan ini dianggap berada dalam kawasan yang bermasalah sehingga sulit mendapatkan hak kepemilikan yang sah.
Masalah ini semakin rumit dengan adanya Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yang tidak dapat diterapkan karena status lahan yang belum jelas. Masyarakat berharap pemerintah dapat membantu menyelesaikan konflik ini dengan merujuk pada peraturan yang sudah ada untuk melindungi hak-hak mereka.
Selain itu, masyarakat juga mengalami kesulitan dalam mengakses program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) karena lahan yang dianggap masih bermasalah. “Tanpa kepemilikan lahan yang sah, sulit bagi kami mendapatkan jaminan dari perbankan untuk mengembangkan usaha,” kata Yusuf.
Beberapa desa di Kotawaringin Barat juga belum menerima plasma 20% yang dijanjikan. Masyarakat menyampaikan bahwa Peraturan Menteri Pertanian yang ada saat ini justru membatasi ruang gerak mereka dalam mengelola usaha sawit, sehingga kemakmuran yang diharapkan dari kemitraan dengan perusahaan belum tercapai.