InfoSAWIT, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari MADANI Berkelanjutan, Satya Bumi, dan Sawit Watch baru-baru ini merilis temuan penting terkait batas daya tampung lingkungan untuk perkebunan sawit di Indonesia. Menurut riset terbaru mereka, luas maksimum yang ideal untuk perkebunan sawit adalah 18,15 juta hektar. Temuan ini sangat relevan mengingat pesatnya ekspansi industri sawit dalam dua dekade terakhir, yang kini menghadapi tantangan besar seiring semakin terbatasnya lahan dan menurunnya daya dukung ekosistem.
Deputy Director MADANI Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto, mengungkapkan bahwa tren pengembangan sawit di Indonesia lebih menitikberatkan pada perluasan lahan (ekstensifikasi) ketimbang peningkatan produktivitas (intensifikasi). “Pengembangan sawit saat ini masih berfokus pada perluasan lahan, bukan produktivitas. Padahal, sawit bisa dikelola lebih baik tanpa merusak lingkungan dan tetap memberikan hasil optimal tanpa perlu memperluas lahan,” ujar Giorgio dalam keterangan resmi dikutip InfoSAWIT, pada Sabtu (5/10/2024).
Giorgio menambahkan, riset ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengembangan sawit tidak menimbulkan kerusakan lingkungan jangka panjang, namun tetap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Koalisi menggunakan pemodelan kalkulator jejak ekologis yang mencakup 14 variabel pembatas, seperti ketersediaan air, kawasan konservasi, resapan air, hingga habitat satwa dilindungi. “Daya dukung dan daya tampung lahan harus diperhatikan, agar perkebunan sawit tidak melampaui batas kemampuan lingkungan,” tambahnya.
Salah satu temuan penting dari riset ini adalah bahwa sekitar 34% tutupan sawit pada tahun 2022 berada di lahan yang sebenarnya tidak sesuai untuk sawit, dengan sebagian besar berada di Kalimantan. Menurut Riezcy Cecilia Dewi, peneliti dari Satya Bumi, 50% dari tutupan sawit di Kalimantan berada di luar kesesuaian lahan. “Lebih dari setengah tutupan sawit di Kalimantan berada di lahan yang tidak seharusnya dikembangkan untuk sawit,” ungkapnya.
Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa 64% dari “cap” sawit, atau batas maksimum luas lahan sawit, berada di area penting yang termasuk dalam variabel pembatas, terutama di Kalimantan yang mencapai 80%. Ini menunjukkan bahwa pengembangan sawit di beberapa wilayah sudah melampaui batas kemampuan lingkungan, yang bisa menimbulkan risiko jangka panjang.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menekankan pentingnya mempertimbangkan batas ini sebagai upaya untuk memperbaiki industri sawit. “Kami berharap pemerintah bisa mengadopsi konsep ‘cap’ sawit ini dalam regulasi yang jelas. Jika ekspansi sawit dibiarkan tanpa pengendalian, kerugian jangka panjang akan lebih besar, baik dari sisi ekonomi maupun ekologi,” tegas Surambo.
BACA JUGA: Kejagung Geledah Kantor KLHK Terkait Kasus Korupsi Tata Kelola Sawit Periode 2016-2024
Koalisi ini berharap bahwa konsep batas atas atau ‘cap’ sawit ini dapat dijadikan acuan oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih berkelanjutan untuk industri sawit Indonesia. Dengan begitu, ekspansi perkebunan sawit bisa dikendalikan, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan tetap memberikan manfaat bagi ekonomi tanpa merusak alam lebih jauh. (T2)