InfoSAWIT, JAKARTA — Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di akhir tahun lalu soal kelapa sawit memicu diskusi hangat. Presiden menyebut bahwa perluasan sawit tidak perlu dikhawatirkan karena tanaman tersebut mampu menyerap karbon seperti pohon lainnya. “Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Ya dia menyerap karbondioksida,” ucapnya.
Namun, pernyataan ini mendapat beragam tanggapan, terutama dari pegiat lingkungan. Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyoroti bahwa meski sawit dapat menyerap karbon, kemampuannya tidak sebanding dengan dampak alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. “Tanaman sawit memiliki potensi menyerap karbon, tetapi emisi yang dihasilkan dari alih fungsi lahan, terutama pada lahan gambut, jauh lebih besar,” ungkap Surambo dalam keterangan resminya diterima InfoSAWIT, sabtu (11/1/2025).
Menurut penelitian, pohon sawit berusia 25 tahun mampu menyerap karbon hingga 39,94 ton per hektar atau setara dengan 146,58 ton CO2-eq. Sebagian besar karbon tersimpan di batangnya. Namun, aktivitas operasional perkebunan sawit dan perubahan simpanan karbon akibat alih fungsi lahan justru menghasilkan emisi yang signifikan.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Naik 0,77 Persen Pada Jumat (10/1), Harga CPO di Bursa Malaysia Naik Tipis
Studi menunjukkan emisi dari operasional perkebunan sawit mencapai 4.180–6.225 kg CO2-eq per hektar per tahun. Sementara itu, konversi hutan menjadi perkebunan sawit di lahan gambut menghasilkan emisi hingga 1.835 ton CO2-eq, yang jauh melampaui karbon yang dapat diserap tanaman sawit.
Surambo menekankan bahwa konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit merupakan skenario terburuk. “Emisi karbon dari alih fungsi lahan gambut sangat tinggi. Ini menegaskan bahwa sawit tidak cocok ditanam di lahan gambut jika kita ingin menyelamatkan bumi,” jelasnya.
Rencana pemerintah untuk memperluas lahan sawit juga memicu pertanyaan tentang daya dukung lingkungan. Penelitian Sawit Watch menunjukkan bahwa daya dukung maksimal untuk perkebunan sawit di Indonesia hanya 18,15 juta hektar. Saat ini, angka tersebut hampir tercapai.
BACA JUGA: Kementan Terbitkan Panduan Fasilitasi Kebun Masyarakat oleh Perusahaan Perkebunan Sawit
“Strategi intensifikasi, bukan ekstensifikasi, adalah pilihan paling masuk akal. Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendukung kelestarian lingkungan dan menghindari penanaman sawit di lahan gambut,” tambah Surambo.
Dengan tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak, ambisi perluasan sawit harus diimbangi dengan mitigasi yang serius. Kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan menjadi kunci untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Apakah sawit mampu menjadi solusi atau justru menjadi ancaman baru? Pertanyaan ini tetap menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan masyarakat. (T2)