InfoSAWIT, JAKARTA — Suasana ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (6/5/2025), kembali dipenuhi ketegangan. Sidang perkara Nomor 147/PUU-XXII/2024 bergulir, memperdebatkan nasib ribuan hektare tanah yang berada di kawasan hutan, namun telah bersertifikat atas nama perorangan maupun badan usaha.
Di balik meja mahkamah, para Hakim Konstitusi mendengarkan keterangan dari pihak Presiden yang diwakili oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho. Dengan tegas, Dwi menyampaikan bahwa klaim para pemohon terhadap hak atas tanah yang belakangan diketahui berada dalam kawasan hutan tidak serta-merta berhak mendapat ganti rugi.
“Penetapan kawasan hutan sudah dilakukan lebih dahulu sebelum para pemohon memiliki hak atas tanah. Maka tidak berdasar jika mereka menuntut kompensasi,” ujar Dwi dalam keterangan resmi ditulis InfoSAWIT, Sabtu (10/5/2025), menyiratkan bahwa negara tidak akan mengafirmasi proses perolehan tanah yang dinilai tidak sah menurut hukum.
BACA JUGA: Dorong Hilirisasi Sawit Skala Kecil, Riau Ingin Libatkan Koperasi dan Industri Rakyat
Lebih lanjut, Dwi mengingatkan bahwa berbagai bentuk sertifikat seperti Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Usaha (HGU) yang bertentangan dengan peraturan tak dapat digeneralisasikan sebagai kepemilikan yang sah. Penerapan Pasal 110A dan 110B UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), yang diperbarui lewat UU Cipta Kerja menurutnya telah berdampak positif, termasuk terhadap pemasukan negara lewat Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), dan denda administratif.
Namun di sisi lain, tiga pemohon dalam perkara ini — PT Tara Bintang Nusa, Koperasi Produsen Unit Desa Makmur Jaya Labusel, dan seorang warga bernama Memet S. Siregar — menyuarakan kerugian nyata yang mereka alami. Pemohon I, misalnya, menyebut areal seluas 41,6 hektare miliknya kini berada dalam kawasan hutan dan wajib menyelesaikan kewajiban administratif kehutanan.
Koperasi Makmur Jaya, yang mewakili 770 petani sejak 1990-an, menyebut banyak anggotanya kini terancam kehilangan tanah bersertifikat. “Bagi mereka yang memiliki kebun sawit lebih dari 5 hektare, status kawasan hutan membuat mereka terancam denda dan penyerahan tanah kepada negara,” terang kuasa hukum pemohon.
BACA JUGA: Buruh Sawit Kalbar Menggugat, Dari Lahan Perkebunan ke Gedung Dewan
Sementara itu, Pemohon III, Memet S. Siregar, membawa cerita lebih kompleks. Ia pernah dijerat kasus korupsi karena menjaminkan kebun sawit bersertifikat SHM yang diklaim sebagai kawasan hutan. Kini, ia diwajibkan membayar denda administratif hingga Rp 35 miliar dan kehilangan hak atas tanahnya.
Dwi menambahkan, jika permohonan ini dikabulkan, maka proses penyelesaian legalisasi sawit dalam kawasan hutan yang tengah ditangani Satuan Tugas Sawit Nasional berpotensi terganggu. “Ada 7.221 subjek hukum yang sedang dalam proses, dan semuanya bisa terdampak,” ungkapnya.