InfoSAWIT, JAKARTA – Hilirisasi kelapa sawit menjadi salah satu strategi utama dalam memperkuat ketahanan energi nasional, menciptakan lapangan kerja, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Pesan itu disampaikan Steivie Karouw, Kepala Balai Perakitan dan Pengujian Tanaman Palma, Kementerian Pertanian RI, dalam Konferensi dan Ekspo Penelitian dan Inovasi Kelapa Sawit Indonesia 2025 yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Kamis (2/10).
Mewakili sambutan Wakil Menteri Pertanian RI, Steivie menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor dalam memperkuat industri sawit nasional berbasis inovasi dan teknologi. “Indonesia memiliki modal besar untuk tidak hanya menjadi pengekspor bahan baku sawit, tetapi juga menjadi pemain utama dalam energi terbarukan berbasis sawit,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Indonesia saat ini memiliki luas perkebunan sawit mencapai 16,8 juta hektare dengan produktivitas rata-rata 3,6 ton per hektare, menghasilkan sekitar 47,47 juta ton CPO per tahun. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia. Namun, Steivie mengingatkan bahwa potensi besar itu juga dibayangi berbagai tantangan, mulai dari produktivitas kebun rakyat yang masih rendah, serangan organisme pengganggu tanaman, hingga kampanye negatif di pasar global.
BACA JUGA: Poltek Kelapa Sawit CWE Cetak SDM Unggul, BPDP Dorong Ekspansi ke Kakao dan Kelapa
“Hilirisasi menjadi kunci menghadapi semua tantangan itu,” tegasnya. “Dengan mengolah sawit menjadi produk turunan bernilai tinggi, kita bukan hanya meningkatkan daya saing, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi kemiskinan.”
Steivie mencontohkan keberhasilan hilirisasi pada komoditas kakao dan mete. Kakao mentah yang hanya bernilai Rp26.000 per kilogram, setelah diolah menjadi produk cokelat, bisa bernilai hingga Rp1 juta per kilogram—meningkat hampir 38 kali lipat. Pola serupa, lanjutnya, bisa diterapkan pada kelapa sawit melalui pengembangan industri biodiesel dan energi hijau.
Kementerian Pertanian sendiri tengah mengarahkan dua juta hektare lahan sawit untuk mendukung program transisi energi nasional melalui produksi biodiesel. Indonesia kini telah menerapkan kebijakan B30 dan B35, dan tengah bersiap menuju B40 hingga B50, bahkan menargetkan B100 di masa depan. “Langkah ini akan menjadikan sawit sebagai tulang punggung ketahanan energi nasional,” kata Steivie.
Untuk mewujudkan target itu, ia menekankan pentingnya kolaborasi multipihak. “Petani sebagai produsen bahan baku, industri sebagai pengolah, investor penyedia teknologi, BRIN sebagai pusat riset, pemerintah sebagai regulator, dan perguruan tinggi sebagai mitra pengembangan—semuanya harus bergerak bersama,” ujarnya.
Steivie juga menyoroti dukungan pendanaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) dalam memperkuat ekosistem sawit berkelanjutan. Program strategis Kementerian Pertanian pada 2025 mencakup peremajaan sawit rakyat, pembangunan sarana prasarana kebun, peningkatan kapasitas SDM petani, serta penelitian dan pengembangan sawit. Sejak 2021, program ini telah menjangkau 21 provinsi dengan total 100.000 hektare, termasuk 20.000 hektare dalam skema kemitraan.
Ia menutup paparannya dengan apresiasi terhadap peran BRIN dan akademisi dalam pengembangan riset sawit, termasuk inovasi biodiesel hybrid di Balai Riset Tanaman Industri. “Dengan riset yang kuat dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia akan mampu membangun industri sawit yang tangguh, kompetitif, dan berkelanjutan,” pungkas Steivie. (T2)




















