InfoSAWIT, JAKARTA — Di tengah perdebatan global soal keberlanjutan, kelapa sawit tetap menjadi komoditas andalan Indonesia. Sepanjang 2023, sektor ini menyumbang 3,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menghasilkan devisa ekspor sebesar US$28,4 miliar—setara 11,6 persen dari total ekspor nonmigas. Industri sawit juga menjadi penopang hidup jutaan keluarga: sekitar 16,2 juta orang menggantungkan nafkahnya di sektor ini, baik secara langsung di perkebunan maupun di industri turunannya.
Namun, di balik angka-angka besar itu, posisi petani kecil masih menghadapi tantangan berat. Mereka mengelola sekitar 41 persen dari total luas kebun sawit nasional, tapi kerap berada di ujung paling rentan rantai pasok—terutama menjelang penerapan European Union Deforestation Regulation (EUDR) pada Juni 2026.
Dalam Focus Group Discussion bertajuk “Hambatan dan Peluang Partisipasi Petani Kecil Kelapa Sawit di Pasar Global” yang diselenggarakan oleh INDEF, berbagai pihak—mulai dari pemerintah, asosiasi petani, pelaku usaha, hingga akademisi—sepakat bahwa strategi nasional yang terintegrasi menjadi kunci agar petani kecil tidak tersisih dari pasar global.
BACA JUGA: Wakil Ketua III DPRD Kalteng Minta Lahan Sawit Sitaan Negara Dikelola Daerah, Bukan Swasta
Direktur Kerja Sama Internasional INDEF, Imaduddin Abdullah, menekankan pentingnya perlindungan terhadap petani kecil. “Diskusi ini diarahkan untuk melindungi kepentingan petani kecil dari risiko eksklusi pasar global akibat regulasi internasional,” ujarnya dalam keterangan resmi ditulis InfoSAWIT, Rabu (8/10/2025).
Sementara itu, peneliti INDEF Afaqa Hudaya menyoroti persoalan mendasar yang masih dihadapi petani, seperti legalitas lahan dan lemahnya kelembagaan. Sekitar 62 persen lahan sawit rakyat masih terindikasi berada di kawasan hutan, meski sebagian telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Kondisi ini membuat petani sulit mengakses pembiayaan dan program peremajaan sawit rakyat dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP). Dari total 6,2 juta hektare lahan sawit rakyat, baru sekitar 1 persen yang tersertifikasi ISPO—padahal sistem ini telah berjalan lebih dari satu dekade.
“Petani kita masih beroperasi secara individual. Akses terhadap modal, pendampingan, dan sertifikasi keberlanjutan masih sangat terbatas,” kata Afaqa.
Tantangan dari lapangan juga disampaikan oleh Djono Albar Burhan, Head of International Relation and People Development APKASINDO. Ia menuturkan adanya disparitas harga Tandan Buah Segar (TBS), masalah ketelusuran yang menurunkan harga jual, hingga keterbatasan akses teknologi modern. “Potongan harga bisa mencapai ratusan ribu rupiah per ton hanya karena sistem ketelusuran yang belum sempurna,” ungkapnya.
Kajian INDEF tahun 2024 menunjukkan, ketidakpatuhan terhadap EUDR dapat menurunkan harga sawit 1–9 persen dan meningkatkan kemiskinan petani hingga 17 persen. Padahal, rata-rata produktivitas kebun petani masih jauh di bawah potensi, hanya 10–15 ton TBS per hektare, sedangkan dengan Good Agricultural Practices (GAP) seharusnya bisa mencapai 30–40 ton dengan rendemen 23–25 persen.