InfoSAWIT, JAKARTA – Para petani sawit menyesalkan kelambanan upaya perbaikan tata kelola sawit oleh pemerintah maupun pelaku usaha di sektor tersebut. Kelambanan tersebut mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terus terjadi, terutama dalam program mandatori biodiesel sehingga merugikan petani sawit di Daerah.
Diungkapkan Sekretaris Jendral Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di industri sawit makin terjaga karena adanya perluasan lahan yang melampaui batas dalam aturan hukum, penguasaan suplai bahan baku, produksi dan ekspor oleh segelintir grup perusahaan sawit kelas kakap yang juga ditopang oleh kebijakan subsidi dalam program hilirisasi mandatori biodiesel.
SPKS mencatat total pungutan ekspor CPO pada periode tahun 2019-2021 mencapai Rp 70,99 triliun. Dalam periode tersebut (2019-2021) dana subsidi yang disalurkan kepada grup perusahaan sawit yang terintegrasi dengan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) jenis biodiesel sebesar Rp 68 triliun.
BACA JUGA: Puluhan Petani Sawit Geruduk Kantor Wilmar dan KPPU
Wilmar menjadi grup yang paling diuntungkan dari subsidi biodiesel dengan penerimaan hampir 3 kali lipat dari jumlah pungutan ekspor yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Dalam catatan SPKS dengan selisih antara pungutan ekspor dan subsidi biodiesel, Wilmar memperoleh surplus sebesar Rp 14,8 triliun.
Namun dari keuntungan ini, tidak ada program-program inovatif yang dilakukan perusahaan Seperti Wilmar untuk petani sawit di lapangan, justru banyak petani sawit sekitarnya menjual ke tengkulak. “Tidak memperkuat SDM Petani dan nihil mengembangkan ISPO-RSPO untuk petani sawit. Sementara klaim Perusahaan ini selalu dengan jargon sustainability. Ini kan praktek greenwashing,” tegas Darto. Tidak hanya itu, keuntungan perusahaan makin berlipat ganda, Ketika terjadi penghentian ekspor kelapa sawit beberapa waktu lalu, semua perusahaan membeli murah TBS (Tandan Buah Sawit) Petani, tetapi kemudian mereka menjual dengan harga yang tinggi saat ini, ini Namanya Industry untung petani buntung,” ungkap Darto dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Selasa (15/11/2022).
Hal yang lebih ironis, surplus yang diterima oleh perusahaan sawit besar seperti Wilmar, tidak sebanding dengan alokasi dana sawit untuk kebutuhan dasar petani sawit. Dalam periode tahun 2015-2019, realisasi untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) hanya sebesar Rp 2,7 triliun, pengembangan SDM sebesar Rp 140,6 miliar, dan pengadaan sarana- prasarana sebesar Rp1,73 miliar. “Jika ketiganya digabungkan, totalnya bahkan tidak mencapai 10% dari total dana Rp47,28 triliun yang dihimpun BPDPKS dalam periode tersebut,” tutur Darto.
Lebih lanjut tutur Darto, kebijakan pungutan ekspor CPO maupun pajak atau bea keluar jelas menekan harga TBS sawit yang diterima petani sawit, atau dengan kata lain, sumber pungutan bukan saja dari perusahaan sawit tetapi juga dari 41,35% (Data BPS 2019) perkebunan yang dikelola oleh rakyat.
“Sayangnya, dana ini bukannya dikembalikan kepada petani, melainkan untuk subsidi industri biodiesel. Ini menandakan alarm serius bahwa kebijakan dana sawit tidak berpihak terhadap petani sawit,” tandas Darto. (T2)