InfoSAWIT, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyoroti signifikansi sawit sebagai komoditas ekspor utama Indonesia yang nilai ekspornya mencapai US$ 29,66 miliar pada tahun 2022.
Dalam Pertemuan Nasional (Penas) Petani Sawit Indonesia, Airlangga menyampaikan bahwa tingginya ekspor sawit tersebut merupakan hasil dari peran vital petani sawit di Indonesia. Pemerintah, sebagai respons, telah meluncurkan program sarana prasarana dengan anggaran lebih dari Rp127 miliar dan melibatkan lebih dari 7 ribu orang pada tahun 2023.
Meskipun sawit menjadi ekspor andalan Indonesia, Airlangga mengakui bahwa produktivitas petani sawit masih perlu ditingkatkan. Salah satu langkah yang diambil adalah melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR). Airlangga mencatat bahwa rata-rata produktivitas saat ini berkisar antara 2,6-3 CPO ton per hektare/tahun, dan melalui PSR, lebih dari 134 ribu pekebun telah mendapatkan dana sebesar Rp8,5 triliun untuk meningkatkan produktivitas pada lebih dari 300 hektare lahan.
BACA JUGA: Potensi Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Menggerus Emisi Karbon
Selain itu, Airlangga juga menyoroti ancaman yang tengah mengintai industri sawit Indonesia. Uni Eropa berencana memberlakukan Undang-undang Antideforestasti (EUDR) mulai akhir tahun 2024. Beberapa ketentuan EUDR, seperti penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system, berpotensi merugikan petani sawit skala kecil. Selain itu, Uni Eropa memberikan subsidi besar-besaran, mencapai US$436 miliar, yang dapat berdampak negatif pada ekspor sawit Indonesia.
Dalam konteks ini, Airlangga mengungkapkan bahwa Uni Eropa merasa tersaingi dengan minyak sawit Indonesia dan mencoba mengurangi dampaknya dengan mengusulkan penghapusan minyak sawit dari rantau pasok. Uni Eropa juga menetapkan persyaratan ketat terkait data geolocation petani, yang menjadi tantangan bagi produsen sawit Indonesia.
“Uni Eropa juga memberikan subsidi sebesar US$ 436 miliar melalui bantuan intervensi pasar proteksionisme dan berbagai program, dan tentu kita mendapat tantangan di Eropa ke depan yang akan mengganggu ekspor kita,” katanya saat membuka Pertemuan Nasional (Penas) Petani Sawit Indonesia yang digelar Apkasindo pada Kamis (7/12/2023), yang dihadiri InfoSAWIT.
BACA JUGA: BKSAP DPR RI Berjuang Untuk Kepentingan Nasional, Lawan Diskriminasi Uni Eropa
Sementara Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, menambahkan bahwa petani sawit menghadapi kendala dalam program peremajaan atau replanting. Banyak lahan petani sawit masih dianggap sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Gulat menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, lahan perkebunan sawit yang sudah ada sebelum tahun 2020 dapat diakui sebagai lahan perkebunan.
Dalam upayanya untuk mengatasi masalah ini, Apkasindo memohon agar petani dengan lahan 5 hektar ke bawah dan penguasaan lebih dari 5 tahun dapat ikut program PSR. Gulat berharap agar keputusan atau keyakinan terkait hal ini dapat diambil pada tahun 2024, sehingga target Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dapat tercapai sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebesar 180 hektare per tahun. (T2)