InfoSAWIT, JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia (RI) mengungkapkan adanya indikasi maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia. Salah satu masalah utama yang ditemukan adalah tumpang tindih regulasi yang menghambat efektivitas pengelolaan industri tersebut. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan inspeksi lapangan bersama para stakeholder terkait untuk mengevaluasi implementasi regulasi di industri kelapa sawit.
“Kami akan turun bersama-sama dengan para stakeholder terkait. Kami akan melihat secara langsung bagaimana penerapan regulasi di lapangan. Kami ingin mengetahui sejauh mana penyimpangan terjadi,” ujarnya dalam Diskusi Publik yang diadakan di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, dalam keterangan resmi diperoleh InfoSAWIT, Selasa (28/5/2024).
Yeka mengidentifikasi beberapa regulasi yang menyebabkan gangguan dalam pelayanan publik pemerintah di industri kelapa sawit. Salah satu isu yang menonjol adalah tumpang tindih izin lahan, di mana lahan kelapa sawit seringkali dianggap masuk dalam kawasan hutan. “Masalah ini harus diselesaikan tanpa merugikan pihak manapun. Sampai kapan masalah ini akan berlarut-larut?” tegas Yeka. Ombudsman juga mempertanyakan kesejahteraan petani kelapa sawit yang terdampak oleh isu ini.
BACA JUGA: Universitas Jambi Rayakan Dies Natalis ke-61 dengan Seminar Nasional tentang Sawit
Terkait persoalan tumpang tindih lahan dan kawasan hutan serta perizinan, Ombudsman menemukan adanya benturan regulasi antara rezim kawasan dan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang membingungkan petani dan pelaku usaha. Benturan ini mencakup penunjukan, tata batas, pemetaan, dan penetapan kawasan.
Ombudsman RI telah memetakan beberapa masalah utama dalam tata kelola industri kelapa sawit. Pertama, terkait lahan dan perizinan, termasuk kepastian izin lokasi lahan perkebunan sawit yang sering terkendala oleh isu overlapping kawasan (hutan, HGU, adat). Kedua, permasalahan tata niaga, di mana produk sawit terkendala oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri.
Selain itu, kemitraan antara petani rakyat dan industri dalam pengolahan produk sawit juga mengalami kendala. Dalam hal harga, Ombudsman menemukan bahwa harga saat ini tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi petani, masyarakat, bahkan pedagang minyak goreng sawit. Terkait teknologi, target peningkatan produktivitas per hektar belum tercapai.
BACA JUGA: TRACES Jadi Alat Ukur Kelulusan Perdagangan Komoditas Sesuai Kebijakan EUDR
Dalam kurun waktu 2018-2024, Ombudsman menerima setidaknya 239 aduan masyarakat terkait isu perkelapasawitan. Tiga substansi aduan tertinggi adalah agraria (pertanahan dan tata ruang) sebanyak 69 aduan, perkebunan, pertanian, dan pangan sebanyak 36 aduan, dan substansi penegakan hukum sebanyak 24 aduan.
Tahun ini, Ombudsman akan melakukan kajian systemic review mengenai pencegahan maladministrasi pada layanan tata kelola industri kelapa sawit. “Pencegahan maladministrasi ini sebenarnya cara palingsoft untuk perbaikan pelayanan publik karena bentuknya saran. Tapi kami bisa keluarkan produk yang sifatnya memaksa. Sehingga untuk permasalahan yang paling urgen, misal perlu pencabutan suatu regulasi, maka Ombudsman bisa memberikan tindakan korektif dan rekomendasi yang sifatnya lebih mengikat,” ucap Yeka. (T2)