InfoSAWIT, JAKARTA – Kebijakan Pemerintah Indonesia bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan atau ISPO telah dilakukan sejak tahun 2013 silam melalui Peraturan Menteri Pertanian RI (Permentan) nomor 19 tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Regulasi ini, sebagai bagian dari amanat UUD 1945 demi tercapainya pembangunan nasional berkelanjutan, terutama di sektor perkebunan kelapa sawit.
Regulasi ISPO juga terus berkembang dan berulang kali direvisi, pada tahun 2015 direvisi melalui Permentan Nomor 15 tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO). Kemudian pada tahun 2020, Pemerintah kembali merevisi dan memperkuat pengaturan ISPO melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia serta Permentan Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Revisi terakhir menetapkan pemberlakuan mandatori sertifikasi ISPO bagi semua pelaku usaha, tidak terkecuali bagi perkebunan sawit rakyat pada tahun 2025 mendatang.
Sebab itu, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendorong sertifikasi ISPO dilakukan oleh petani sawit di Indonesia. Menurut Ketua Umum SPKS, Sabarudin, keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia juga bergantung dari kebun sawit milik petani sawit.
BACA JUGA: Harga CPO Diprediksi Menguat Mulai Juni, Diperdagangkan Antara RM 3.900 hingga RM 4.150 per ton
“Petani sawit mendukung penuh mandatori sertifikasi ISPO menjadi bagian dari pengelolaan kebun petani sawit,” kata Sabarudin dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Minggu (16/6/2024).
Pentingnya keberhasilan pengelolaan kebun sawit petani, juga berasal dari penerapan prinsip dan kriteria berkelanjutan yang akan menaikkan produktivitas hasil panennya. Karena itu, SPKS mengharapkan adanya keterlibatan aktif dari Dinas Perkebunan dan Pemerintah Daerah guna mempercepat sertifikasi ISPO bagi petani sawit.
Pasalnya, sejak tahun 2013, pelaksanaan sertifikasi ISPO baru mencapai 0,3% untuk perkebunan rakyat. Realisasi tersebut masih sangat rendah, sementara upaya prakondisi memastikan kesiapan pelaku usaha terutama petani sawit dalam pelaksanaan mandatori ISPO, baru dilakukan sejak 2019, melalui kebijakan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) hingga tahun 2024. RAN KSB memberikan mandat bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan serangkaian upaya perbaikan tata kelola dengan layanan program rencana aksi serta dibiayai melalui instrumen APBN, APBD, serta dukungan kerjasama multipihak.
BACA JUGA: Disbun Kaltim Adakan Sosialisasi Pengawasan Peredaran Benih Ilegitim di Desa Klempang Sari
Pendanaan sertifikasi ISPO juga harus mendapat dukungan dari Pemda yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang diterima setiap tahunnya. “Pemda harus mengalokasikan DBH sawit bagi pendanaan sertifikasi ISPO kebun petani sawit,” ujar Sabarudin.