InfoSAWIT, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penggeledahan di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Kamis, 3 Oktober 2024. Penggeledahan ini terkait dengan dugaan korupsi tata kelola perkebunan sawit ilegal sepanjang 2005 hingga 2024. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa proses pemeriksaan saksi-saksi kini tengah dijadwalkan.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, mengungkapkan kekhawatirannya terkait kurangnya transparansi dalam proses pemutihan sawit. Menurutnya, keterbukaan informasi dari pemerintah sangat minim, meskipun Menteri LHK telah mengizinkan publikasi proses tersebut. “Kami mencoba meminta data resmi dengan surat resmi ke KLHK, namun hingga kini tidak ada tanggapan positif. Ini menimbulkan kekhawatiran adanya potensi korupsi,” ujar Achmad dalam keterangannya dikutip InfoSAWIT, Senin (14/10/2024).
Ia juga menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) pada 21 Desember 2023, yang menolak uji materiil atas Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021 mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang kehutanan. “Melalui putusan ini, kami menemukan fakta bahwa hanya sedikit subjek hukum yang dikenakan sanksi. Dari 3.690 subjek hukum yang terdaftar, hanya 17 yang diberikan pelepasan kawasan hutan dan 35 dikenakan sanksi administratif,” tambah Achmad.
BACA JUGA: Kemendag Ajak Pelaku Usaha Sawit Optimistis Hadapi Tantangan Ekspor ke Uni Eropa
Rinciannya, denda administratif yang telah dibayarkan mencapai Rp 239 miliar, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp 61 miliar, dan Dana Reboisasi (DR) Rp 13 juta. Achmad mengkritik bahwa mekanisme pemutihan sawit ini tidak berjalan maksimal dan menyisakan potensi korupsi.
Sejalan dengan hal tersebut, Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), menambahkan bahwa pihaknya telah menganalisis penerapan sanksi administratif bagi usaha sawit tanpa izin hingga Agustus 2022. Ia menyoroti lambatnya penyelesaian kasus-kasus ini. Dari 1.192 subjek hukum yang diminta melengkapi data, baru 240 yang melakukannya, dan hanya 15 subjek hukum yang telah membayar denda.
Zazali juga menegaskan perlunya transparansi dalam proses pemutihan sawit. “Publik berhak mengetahui siapa saja yang diputihkan dan berapa besar denda yang telah dibayarkan. Ada dugaan suap dan gratifikasi terkait penentuan besaran denda tersebut,” ujarnya.
BACA JUGA: Diplomasi Sawit Indonesia, Promosikan Produk Hilir ke Pasar Internasional
Gunawan, Penasihat Senior Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), menyatakan bahwa putusan MA tersebut perlu ditinjau lebih lanjut, terutama terkait dasar hukum yang digunakan. Menurutnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi landasan telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. “Proses pemutihan sawit harus diperbaiki, jangan sampai kebijakan ini justru membuka celah untuk korupsi,” tegas Gunawan.
Achmad Surambo menambahkan, batas atas luasan perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 18,15 juta hektar. Ia berharap penggeledahan yang dilakukan Kejagung mampu memberikan titik terang dalam penyelesaian masalah tata kelola sawit yang berkelanjutan. “Masih ada jalan panjang menuju perbaikan tata kelola sawit, dan ini memerlukan komitmen penuh dari semua pihak,” tutupnya. (T2)