InfoSAWIT, JAKARTA – Industri kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan besar: produktivitas yang rendah. Meskipun perkembangan teknologi di bidang agronomi, pemuliaan tanaman, dan teknik pengolahan telah meningkatkan potensi rendemen CPO dari 19% menjadi 27%, realitas di lapangan jauh dari harapan. Potensi produksi Tandan Buah Segar (TBS) saat ini mencapai 8 ton minyak sawit per hektar per tahun, namun produktivitas aktual hanya 2,8 ton per hektar per tahun. Artinya, realisasi produktivitas hanya 35% dari potensinya. Ini adalah situasi yang memprihatinkan.
Salah satu penyebab utama rendahnya produktivitas sawit adalah kurangnya pemupukan. Banyak areal perkebunan, baik milik petani kecil maupun perusahaan besar, yang tidak dipupuk secara optimal. Di PTPN (BUMN Perkebunan), misalnya, pupuk diberikan tidak maksimal, bahkan 3-5 tahun sebelum replanting, tanaman tidak dipupuk sama sekali. Padahal, kelapa sawit adalah tanaman hibrida yang sangat responsif terhadap pemupukan.
Masalahnya, rekomendasi pemupukan sering kali tidak mempertimbangkan dampak ekonomisnya. Akibatnya, jumlah dan komposisi pupuk yang diberikan tidak sesuai dengan dosis yang seharusnya. Harga pupuk yang mahal juga menjadi kendala, meskipun analisis ekonomi menunjukkan bahwa pemupukan hingga 10 kg per pohon per tahun masih ekonomis.
BACA JUGA: Mencari Keseimbangan Sawit, Ekonomi, dan Keberlanjutan Lingkungan
Untuk mengatasi masalah ini, pemberian pupuk subsidi bisa menjadi solusi cepat. Dengan subsidi pupuk, produktivitas sawit dapat meningkat signifikan. Perhitungan sederhana menunjukkan bahwa subsidi pupuk untuk 17 juta hektar kebun sawit membutuhkan dana sekitar Rp90 triliun. Namun, dampaknya jauh lebih besar: penerimaan negara dari bea keluar, pungutan ekspor, dan PPN bisa mencapai Rp186 triliun. Artinya, subsidi pupuk bukanlah pemborosan, melainkan investasi yang menguntungkan.
Selain itu, penerapan metode Production Force Management dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Metode ini fokus pada “manajemen akar” dan “manajemen kanopi,” yang meningkatkan daya serap hara dan kapasitas fotosintesis tanaman. Dengan metode ini, produktivitas dapat meningkat 30-100%, sementara biaya pupuk bisa ditekan.
Masalah lain yang sering diabaikan adalah infrastruktur jalan produksi. Banyak kebun sawit yang memiliki potensi produksi tinggi, tetapi buahnya tidak bisa diangkut ke pabrik karena kondisi jalan yang buruk. Perbaikan infrastruktur ini harus menjadi prioritas untuk memastikan hasil panen bisa sampai ke pabrik dengan lancar.
BACA JUGA: Presiden Prabowo Kumpulkan Para Menteri, Bahas Sawit di Kawasan Hutan
Selain itu, koordinasi antarinstansi juga menjadi kendala besar. Setidaknya ada delapan instansi yang terlibat dalam pengelolaan industri sawit: Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, PT Pertamina, BPDPKS, ATR, pemerintah daerah, dan perbankan. Untuk menyelesaikan masalah ini, dibutuhkan badan khusus yang dapat mengoordinasikan semua instansi terkait.
BUMN Perkebunan seperti PTPN memiliki peran strategis dalam meningkatkan produktivitas sawit nasional. Saat ini, produktivitas di PTPN mencapai 51,3% dari potensinya, lebih tinggi dibandingkan perkebunan swasta (43,04%) dan perkebunan rakyat (31,99%). PTPN dapat diberi tugas untuk mengembangkan areal baru, membina petani plasma, dan mengambil alih perkebunan swasta yang terbengkalai.
Dengan mengoptimalkan peran PTPN, penerimaan negara dari pajak, pungutan ekspor, dan dividen bisa meningkat signifikan. Pendapatan ini bahkan bisa dua kali lipat dari nilai subsidi pupuk yang diberikan.
BACA JUGA: Harga Gandum dan Jagung Stabil Menyusul Adanya Kekhawatiran Pasokan
Produksi minyak sawit nasional tidak hanya penting untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor, tetapi juga bisa menjadi senjata politik yang ampuh. Dalam konteks diplomasi dan ketahanan energi, sawit bisa menjadi andalan Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak fosil. Program B-100, misalnya, bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi konsumsi BBM fosil.
Namun, untuk mencapai ini, Indonesia harus meningkatkan produksi minyak sawit dari 50 juta ton menjadi 120-130 juta ton per tahun. Dengan luas areal sawit saat ini yang mencapai 17 juta hektar dan potensi perluasan hingga 20,5 juta hektar, target ini bisa dicapai jika produktivitas ditingkatkan menjadi 7 ton per hektar per tahun.
Langkah Konkret yang Dibutuhkan
Pupuk Subsidi: Pemberian pupuk subsidi harus dioptimalkan untuk meningkatkan produktivitas sawit. Dampaknya akan terlihat dalam waktu singkat, dengan peningkatan pendapatan petani dan penerimaan negara.
Metode Production Force Management: Penerapan metode ini dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan produktivitas tanaman.
Perbaikan Infrastruktur: Jalan produksi harus diperbaiki untuk memastikan hasil panen bisa diangkut ke pabrik dengan lancar.
Koordinasi Antarinstansi: Dibutuhkan badan khusus untuk mengoordinasikan delapan instansi terkait agar bisa bekerja sama secara efektif.
Optimalisasi Peran PTPN: BUMN Perkebunan harus diberi tugas untuk mengembangkan areal baru, membina petani plasma, dan mengambil alih perkebunan swasta yang bermasalah.
Dengan langkah-langkah ini, industri sawit Indonesia tidak hanya bisa meningkatkan produktivitas, tetapi juga menjadi tulang punggung ketahanan energi dan diplomasi nasional. Sawit bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga aset strategis untuk masa depan Indonesia. (*)
Disclaimer: Artikel merupakan pendapat pribadi, dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis serta tidak ada kaitannya dengan InfoSAWIT.