InfoSAWIT, JAKARTA – Perkembangan teknologi telah membuktikan bahwa minyak sawit tidak hanya bermanfaat bagi industri makanan dan kosmetika, tetapi juga memiliki potensi besar sebagai bahan baku energi terbarukan. Bio Diesel dan Bio Gasoline yang dihasilkan dari minyak sawit memberikan peluang besar bagi Indonesia dalam mengurangi ketergantungan terhadap minyak fosil. Jika produksi minyak sawit diperkuat, Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan energi domestik tetapi juga dapat meningkatkan ekspor bahan bakar nabati.
Dalam beberapa tahun ke depan, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia diproyeksikan mencapai 17,3 juta hektare dari total 20,5 juta hektare yang memiliki izin. Dari jumlah tersebut, perkebunan rakyat mengelola 6,7 juta hektare, perkebunan swasta menguasai 10 juta hektare, sementara perkebunan milik negara hanya 0,6 juta hektare. Fakta ini mengindikasikan bahwa industri sawit saat ini masih didominasi oleh swasta. Oleh karena itu, kebijakan perlu diarahkan untuk memperbesar peran negara dalam pengelolaan perkebunan sawit guna mendukung program energi nasional.
Langkah pemerintah dalam menyita 221.000 hektare lahan milik perusahaan swasta bermasalah untuk dialihkan ke BUMN merupakan kebijakan yang tepat. Namun, masih banyak perkebunan sawit yang kurang produktif akibat mismanajemen dan permasalahan keuangan. Kebun-kebun seperti ini dapat dialihkan ke BUMN agar dikelola secara lebih profesional dan produktif.
BACA JUGA: Kemendag Tegaskan Kepatuhan Repacker MINYAKITA dalam Rapat Koordinasi
Kebutuhan dan Tantangan Produksi Sawit
Produksi minyak sawit nasional saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun, dengan tingkat produktivitas hanya 35% dari potensi maksimalnya. Sementara itu, kebutuhan domestik untuk pangan mencapai 10 juta ton, oleochemical 3 juta ton, dan biodiesel 12 juta ton, sehingga total konsumsi domestik mencapai 25 juta ton. Artinya, terdapat surplus 25 juta ton yang dapat diekspor untuk menjaga keseimbangan harga pasar.
Namun, jika Indonesia ingin sepenuhnya mengandalkan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati (BBN), maka kebutuhan minyak sawit akan meningkat drastis. Dengan asumsi kebutuhan BBM nasional mencapai 130 juta kiloliter, sementara produksi minyak fosil dalam negeri hanya 30 juta kiloliter, maka setidaknya diperlukan 100 juta ton minyak sawit per tahun. Jika ekspor tetap dipertahankan di angka 25 juta ton, maka total kebutuhan minyak sawit mencapai 125 juta ton, yang berarti masih terdapat kekurangan produksi sebesar 75 juta ton.
Untuk menutupi kekurangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret, seperti penyediaan pupuk subsidi, pembenahan manajemen usaha tani, serta percepatan penanaman lahan yang telah memiliki izin. Dengan intensifikasi dan optimalisasi lahan yang ada, produksi nasional bisa ditingkatkan hingga 100 juta ton per tahun, tanpa perlu memperluas areal perkebunan secara besar-besaran.
BACA JUGA: Keluarga Tahija Jual Saham ANJ ke PT Ciliandra Perkasa
Strategi Pengelolaan Lahan Secara Berkelanjutan
Jika ekspor minyak sawit tetap dipertahankan pada angka minimal 25 juta ton per tahun, maka tambahan lahan seluas 8 juta hektare diperlukan untuk mencapai target produksi. Lahan yang tersedia, baik dalam bentuk hutan sekunder maupun lahan tidur, dapat dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan data, terdapat sekitar 24,5 juta hektare hutan sekunder dan 20,5 juta hektare lahan tidur yang dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit atau karet. Pemanfaatan lahan ini harus dilakukan secara bijak, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Sebagai alternatif, sebagian lahan tersebut dapat ditanami karet dan tebu, yang juga merupakan komoditas strategis. Selain itu, tanaman seperti padi dan jagung yang termasuk kelompok tanaman C4 juga memiliki peran penting dalam menyerap karbon dioksida (CO2) lebih banyak dibandingkan tanaman lainnya.