InfoSAWIT, BALI – Pertamina Patra Niaga mencermati dampak kenaikan harga FAME (Fatty Acid Methyl Ester) terhadap industri, seiring dengan berjalannya program mandatori biodiesel di Indonesia. Samuel Hamonangan Lubis, Manajer Industrialisasi Sales Pertamina Patra Niaga, mengungkapkan bahwa sejak Oktober tahun lalu, harga FAME telah melampaui harga solar, yang berdampak pada dinamika pasokan dan konsumsi biodiesel di sektor industri.
“Pada awal program ini, harga FAME lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil, sehingga memberikan keuntungan dalam penghematan biaya. Namun, saat ini harga FAME justru lebih tinggi, dengan selisih mencapai lebih dari Rp5.000 per liter. Hal ini menyebabkan volume konsumsi biodiesel turun, terutama setelah peningkatan campuran dari B35 ke B40,” jelas Samuel dalam kepada InfoSAWIT, Februari 2025 lalu.
Samuel juga menyoroti bahwa kebijakan impor bahan bakar diesel diatur oleh pemerintah, dengan kuota yang ditetapkan secara ketat. “Harapannya, dengan peningkatan produksi domestik, Indonesia dapat mencapai kemandirian energi, mengurangi impor, dan memperkuat ketahanan energi nasional,” tambahnya.
BACA JUGA: Membangun Kemandirian Energi dengan Sawit yang Lebih Ramah Lingkungan
Namun, perubahan kebijakan subsidi menjadi tantangan tersendiri bagi sektor industri. Mulai 1 Januari, insentif bagi sektor industri seperti hotel, pertambangan, dan perkebunan telah dihentikan, sehingga mereka harus menanggung penuh selisih harga biodiesel. “Selisih harga antara FAME dan solar sejak Desember hingga Januari meningkat sekitar 25%, yang tentunya berdampak pada biaya operasional industri,” ujarnya.
Di sisi ritel, harga biodiesel di SPBU masih sesuai dengan regulasi pemerintah melalui skema subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun, bagi sektor industri yang tidak lagi menerima insentif, kenaikan harga ini bisa meningkatkan beban operasional mereka secara signifikan.
Pertamina Patra Niaga terus berkoordinasi dengan pemerintah dan pelaku industri untuk mencari solusi terbaik. “Kami memahami bahwa sektor industri mengharapkan adanya insentif tambahan, tetapi pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan pemerintah. Kami hanya menjalankan kebijakan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan,” pungkas Samuel.
BACA JUGA: Keluarga Tahija Jual Saham ANJ ke PT Ciliandra Perkasa
Dengan dinamika harga yang terus berubah, pelaku industri diharapkan dapat menyesuaikan strategi mereka dalam menghadapi kenaikan biaya bahan bakar. Sementara itu, pemerintah terus mengkaji langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan energi dan keberlanjutan industri di Indonesia. (T2)