InfoSAWIT, BOGOR – Nilai produksi industri kelapa sawit Indonesia mencapai Rp440 triliun per tahun, menjadikannya salah satu penopang utama perekonomian nasional. Namun, di balik angka fantastis itu, ada aktor kecil yang sering terlupakan: serangga penyerbuk.
“Kelapa sawit tanpa kehadiran serangga penyerbuk akan mengalami penurunan produksi hingga 70–80 persen,” ungkap Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Purnama Hidayat, dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University akhir Mei 2025 lalu.
Ia menegaskan, dari total nilai produksi sawit Rp440 triliun, sekitar Rp300 triliun berpotensi lenyap bila serangga penyerbuk tidak hadir dalam ekosistem kebun sawit. “Indonesia beruntung memiliki kondisi ekologi yang mendukung keberadaan serangga penyerbuk alami,” tambahnya dikutip InfoSAWIT dari IPB University, Minggu (7/9/2025).
BACA JUGA: Serangga Baru Belum tentu Mampu Genjot Produktivitas Sawit, Perlu Pendekatan yang Terukur
Prof. Purnama mencontohkan pengalaman Malaysia yang harus mengimpor serangga Elaeidobius kamerunicus dari Afrika demi menjamin keberhasilan penyerbukan kelapa sawit. “Karena asal tanaman sawit memang dari Afrika, serangganya pun ikut dibawa ke Malaysia,” jelasnya.
Hal ini, menurutnya, menjadi pengingat bahwa kehadiran serangga tak bisa dianggap remeh. Tanpa serangga, penyerbukan harus dilakukan secara manual—sebuah pekerjaan yang hampir mustahil mengingat jutaan hektare kebun sawit tersebar di seluruh Indonesia.
Lebih dari sekadar penyerbuk, serangga juga berpotensi menjadi sumber protein alternatif. Di Thailand, Vietnam, dan Tiongkok, konsumsi serangga sudah menjadi bagian dari tradisi kuliner. “Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan menyebut serangga sebagai sumber protein paling murah dan efisien secara energi,” kata Prof. Purnama.
BACA JUGA: Mengerek Produktivitas Sawit dari Spesies Baru Serangga Penyerbuk
Ia meyakini, meski saat ini masyarakat Indonesia masih menganggap makan serangga sebagai sesuatu yang aneh, dalam 20–30 tahun ke depan, hal itu bisa menjadi kebiasaan baru.
Dalam konteks pertanian berkelanjutan, serangga juga berperan sebagai pengendali hama alami. Prof. Purnama menyinggung praktik sebuah perusahaan gula di Lampung yang sukses menurunkan penggunaan insektisida hingga 80 persen dengan memanfaatkan serangga predator. “Ini menunjukkan serangga tidak hanya penting bagi sawit, tapi juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem pertanian secara luas,” ujarnya.
Di akhir pemaparannya, Prof. Purnama mengajak semua pihak—akademisi, industri, hingga masyarakat—untuk lebih menghargai dan mengembangkan potensi serangga. “Mereka adalah pekerja ekosistem yang vital. Tanpa serangga, kita kehilangan banyak hal, bukan hanya hasil sawit, tapi juga keberlanjutan pangan di masa depan,” pungkasnya. (T2)