InfoSAWIT, PANGKALPINANG – Pada Rabu, 16 Agustus 2023 lalu, di Mabalong, Kabupaten Belitung diguncang oleh aksi demo berujung ricuh yang terjadi di perusahaan perkebunan sawit milik Grup Sinar Mas, PT Foresta Lestari Dwikarya. Kasus ini melibatkan pengrusakan, pembakaran, dan penganiayaan yang melibatkan sejumlah masyarakat setempat. Namun, seiring berjalannya waktu, proses hukum mulai diterapkan untuk menangani insiden tersebut.
Kepolisian setempat mengamankan 11 orang yang diduga sebagai pelaku utama dari tindakan tersebut. Para pelaku diyakini terlibat dalam pengrusakan properti perusahaan dan melakukan aksi anarkis di wilayah PT Foresta Lestari Dwikarya yang terletak di Desa Kembiri, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Penangkapan ini menjadi langkah penting dalam mencari kebenaran di balik insiden ini.
Salah satu dari tersangka, Martoni, telah memberikan pernyataan terkait peristiwa tersebut. Menurut Martoni, tindakan pengrusakan dan pembakaran aset milik perusahaan tersebut dipicu oleh tindakan provokatif yang dilakukan oleh PT Foresta Lestari Dwikarya. Martoni mengklaim bahwa perusahaan tersebut telah memprovokasi masyarakat, yang kemudian merespon dengan aksi anarkis.
BACA JUGA: AMP Plantation Dorong Geliat Ekonomi Daerah Lewat Kemitraan Sawit
“Kalau tidak ada provokasi tidak mungkin kami bertindak. Kami juga menuntut keadilan atas penangkapan kami dan penanganan kasus ini,” ujar Martoni yang juga sebagai koordinator lapangan saat unjuk rasa warga, seperti dilansir Tempo.
Namun Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Bangka Belitung Komisaris Besar I Nyoman Mertha Dana membantah jika perusahaan melakukan provokasi sehingga berujung aksi anarkis warga.
Sementara diungkapkan, Dosen Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang, Eko Bagus Sholihin, prihatin dan berduka atas peristiwa kemarahan massa yang kemudian berujung dengan penangkapan 11 warga di sekitar beroperasinya PT Foresta.
BACA JUGA: Kebun Percontohan TSE Group Jadi Lokasi Agrowisata Siswa Sekolah Dasar
Kata Eko, aksi tersebut tidak dapat dipandang sebagai tindakan kriminal semata. Tindakan tersebut harus dipahami terjadi di dalam situasi konflik di mana masyarakat sedang berjuang menuntut hak mereka atas 20 persen plasma yang memang diamanatkan oleh undang-undang.