InfoSAWIT, JAKARTA – Tahun 2023 telah ditandai sebagai tahun terpanas dalam sejarah catatan suhu global. Vice Chair Working Group I, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sekaligus Profesor Meteorologi dan Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Edvin Aldrian, menyatakan bahwa kenaikan suhu global mencapai 1,52 derajat Celcius, melampaui batas yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris sebesar 1,5 derajat Celcius. Hal ini menandakan eskalasi yang mengkhawatirkan dalam perubahan iklim global.
Menurut laporan IPCC, proyeksi kenaikan suhu bumi pada tahun 2030 akan lebih cepat dari prediksi sebelumnya. Jika sebelumnya diproyeksikan suhu akan meningkat secara signifikan pada tahun 2052, temuan terbaru menunjukkan bahwa kenaikan suhu bisa terjadi lebih cepat, bahkan pada tahun 2042, sepuluh tahun lebih awal dari perkiraan sebelumnya. Hal ini mencerminkan eskalasi yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya, mengindikasikan eskalasi yang lebih cepat dari yang pernah diprediksi sebelumnya, dan menekankan perlunya tindakan yang lebih tegas dalam mengatasi perubahan iklim.
“Suhu di bumi sudah melebihi 1,5 derajat Celcius sepanjang dua belas bulan, Januari hingga Desember 2023. Kondisi ini terjadi 10 tahun lebih cepat dari prediksi sebelumnya,” ungkap Prof. Edvin Aldrian.
Dalam konteks tersebut, dampak El Niño pada tahun 2023 menjadi kritikal. Supari, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa El Niño yang terjadi pada tahun tersebut dikategorikan sebagai El Niño Moderat, dengan indeks anomali suhu muka laut di Pasifik tengah mencapai nilai 2,0 pada Desember 2023.
Dampaknya sangat terasa, terutama dari Agustus hingga Oktober, dengan curah hujan yang sangat rendah di beberapa wilayah. Bahkan, di Lombok, NTB, kondisi tanpa hujan paling tinggi tercatat selama 222 hari.
“Sementara itu, kondisi tanpa hujan selama lebih dari dua bulan terjadi di wilayah Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah dan Selatan, sebagian Sulawesi, sebagian Maluku, dan Papua. Hal ini mengakibatkan produksi pangan yang tidak maksimal di banyak daerah,” jelas Supari.
Kombinasi dari kenaikan suhu global yang cepat dan dampak ekstrem El Niño memberikan pukulan serius bagi ketahanan pangan dan lingkungan di berbagai wilayah. Menyadari urgensi situasi ini, langkah-langkah adaptasi dan mitigasi harus diambil segera untuk mengurangi dampak yang lebih besar di masa depan. (T2)