InfoSAWIT, JAKARTA – Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, seharusnya mampu mencapai ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan, termasuk pengelolaan cadangan pangan, stabilisasi harga, pengawasan mutu, gizi, dan keamanan pangan, serta program pengentasan daerah rentan rawan pangan.
Namun, berbagai tantangan masih dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Dari sisi permintaan, kebutuhan pangan, khususnya beras, terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa (Sensus Penduduk 2020). Pemerintah juga harus memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk miskin yang mencapai 9,57% (BPS, 2022) dan menangani kasus stunting balita yang mencapai 21,6%.
Selain itu, perubahan iklim menambah kompleksitas pengadaan pasokan pangan. Pergeseran musim hujan dan kemarau yang mempengaruhi pola tanam, serta suhu yang semakin tinggi dan curah hujan yang tidak menentu, memperburuk kondisi ini. Penelitian padi di Filipina melaporkan bahwa peningkatan suhu sebesar 1°C dapat mengakibatkan penurunan panen padi sebesar 10%.
BACA JUGA: Menyulap Lahan Bekas Tambang Jadi Kebun Indigofera dan Sawit
Perubahan iklim, yang didefinisikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai perubahan pola dan intensitas unsur-unsur iklim dalam periode waktu tertentu dibandingkan dengan kondisi normal atau rata-rata historis (lebih dari 30 tahun), dipicu oleh aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Hal ini menyebabkan pemanasan global dan fenomena El Nino, yang merupakan pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal yang mengakibatkan penurunan curah hujan.
Dalam menghadapi kesulitan iklim, pemerintah mengimplementasikan program sawit tumpang sari dengan padi gogo yang ditargetkan mencakup area seluas 120.000 hektar. Dari jumlah tersebut, 80.000 hektar melalui jalur dinas dan 40.000 hektar melalui jalur kemitraan. Direktorat Jenderal Perkebunan mengidentifikasi total 500 ribu hektar lahan berpotensi untuk tumpang sari, dengan 200 ribu hektar untuk kelapa sawit dan 300 ribu hektar untuk kelapa dalam, yang akan ditumpangsarikan dengan padi lahan kering (padi gogo).
Menyelipkan komoditas pangan disela sawit, tak lain bertujuan memperkuat ketanahanan pangan serta kualitas produksi dan produktivitas perkebunan sawit di Indonesia. Pentingnya sinergi multi-pihak dalam mendukung akselerasi program tersebut guna meningkatkan produksi, nilai tambah, dan daya saing industri kelapa sawit nasional menjadi fokus utama. Beberapa daerah target peremajaan sawit rakyat pun mulai menerapkan sawit integrasi dengan padi gogo, seperti Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Riau.
Bagaimana proses integrasi ini dilakukan dan seberapa besar potensinya? Untuk lebih lengkapnya, pembaca bisa melihatnya pada Rubrik Fokus Edisi Mei 2024.