InfoSAWIT, KUALA LUMPUR – BMI, unit dari Fitch Group, telah merevisi perkiraan harga kontrak berjangka minyak sawit mentah (CPO) untuk tahun 2024, menaikkannya menjadi RM 3.850 per ton dari sebelumnya RM 3.750 per ton, yang mencerminkan peningkatan sebesar 2,67%.
Revisi ini mencerminkan bahwa penurunan harga yang sebelumnya diperkirakan sepanjang paruh kedua 2024 belum terwujud sepenuhnya. Namun, BMI tetap memperkirakan bahwa harga CPO akan menghadapi tekanan penurunan hingga tahun 2025, dengan proyeksi harga rata-rata RM 3.700 per ton hingga akhir 2024.
Dalam laporan yang dirilis pada Selasa lalu, BMI menyatakan bahwa kelebihan pasokan, persaingan dari minyak nabati alternatif, dan permintaan impor yang tidak stabil diperkirakan akan terus membebani pasar minyak sawit hingga akhir 2024 dan sepanjang 2025. Selain itu, kemungkinan terjadinya peristiwa La Niña pada triwulan ke-4 tahun 2024 serta penerapan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) pada awal 2025 diprediksi akan menambah tekanan pada pasar.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Naik 0,71 Persen Pada Jumat (23/8), Harga CPO Mingguan Turut Terdongkrak
Meskipun terjadi penurunan harga rata-rata menjadi RM3.952 per ton pada Agustus 2024 dari RM3.973 per ton pada Mei, BMI tetap memperkirakan harga CPO akan stabil di level yang lebih rendah pada tahun 2025. Akibatnya, perkiraan harga rata-rata untuk tahun 2025 juga telah direvisi naik menjadi RM3.650 per ton dari RM3.500 per ton.
Harga minyak sawit telah naik 0,70% sepanjang tahun 2024 hingga 9 Agustus, meskipun pasar mengalami volatilitas signifikan pada awal Agustus. Penurunan harga CPO sebesar 3,32% pada 5 Agustus dan 2,17% pada 6 Agustus mencerminkan tekanan dari berbagai faktor, termasuk penguatan ringgit Malaysia, aksi jual di pasar global, dan penurunan harga minyak mentah.
Dilansir InfoSAWIT dari The Edge Malaysia, Sabtu (24/8/2024), BMI juga mencatat bahwa pasar minyak sawit mulai stabil pada pertengahan Agustus, dengan kerugian akumulasi menurun menjadi 4,12% pada 11 Agustus. Namun, sentimen pasar masih dianggap rapuh, terutama karena diperkirakan ringgit Malaysia akan terus menguat, yang dapat membebani harga minyak sawit berjangka.
BACA JUGA: Ombudsman RI Ungkap Indikasi Maladministrasi dalam Tata Kelola Perkebunan Sawit di Kotim
Di sisi lain, pasar minyak kedelai juga menambah tantangan bagi CPO. Harga kedelai berjangka mengalami penurunan signifikan, mencapai level terendah sejak Agustus 2020, sementara pasokan global yang melimpah dan persaingan dari Amerika Selatan terus melemahkan sentimen pasar.