InfoSAWIT, JAKARTA – Munculnya konflik sosial tuntutan kebun sawit rakyat semakin runyam, bahkan diduga menjadi salah satu pemicu munculnya beragam tindakan illegal yang menjamur. Padahal tiga kementerian memiliki regulasi yang serupa, selain acap beradu dilapangan kerap berujung nihil.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Seruyan, Albidinnor, yang telah mengabdi selama lima tahun di posisinya, dibuat pusing tujuh keliling. Lantaran beragam regulasi yang diterbitkan pemerintah terkait pembangunan kebun sawit rakyat 20%, kerap menghadapi jalan buntu.
Tidak sedikit pula Albidinnor harus mondar-mandir ke Kementerian terkait untuk mencari solusi supaya kebun sawit rakyat yang diamanatkan regulasi bisa terwujud. Belum lagi ditingkat masyarakat terus menagih janji mengenai ketersediaan kebun sawit rakyat menyusul dibangunnya perkebunan kelapa sawit besar swasta di wilayah tersebut.
BACA JUGA: Poltek CWE Perkuat SDM Sawit, Dukung Peningkatan Produksi Sawit Berkelanjutan
Akar masalah dalam pandangan Albidinnor, lantaran ada beberapa kementerian yang terlibat dalam pengelolaan sektor pertanian, dimulai dari Kementerian Pertanian dengan berbagai undang-undang yang mereka miliki. Ia menyebutkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, hingga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang Konvensi Internasional. Meski regulasi-regulasi ini telah diterbitkan, Albidinnor merasa bahwa semua ini belum cukup untuk menjawab kebutuhan pembangunan kebun sawit masyarakat.
“Saya sampaikan bahwa di Kementerian Pertanian sudah ada regulasi yang memastikan bahwa lahan pertanian yang dikelola berasal dari masyarakat,” kata Albidinnor saat acara workshop dihadiri InfoSAWIT, pertengahan Agustus 2024 lalu, di Jakarta. Namun, ia juga menekankan bahwa meski regulasi tersebut telah dibuat, pelaksanaan di lapangan sering kali menemui jalan buntu.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kaltim Periode II-Oktober 2024 Naik Rp 61,7 Per Kg, Cek Harganya..
Ia pun kemudian mengulas Surat Edaran Kementerian Pertanian Nomor 347, yang membagi periode pengelolaan lahan sebelum dan sesudah tahun 2007. Meskipun demikian, Albidinnor merasa bahwa pembagian ini tidak selalu tepat dan memerlukan aturan yang lebih jelas terkait legalitas dan pelaksanaan di lapangan. Menurutnya, aturan yang ada sering kali tidak sinkron, terutama ketika dihadapkan pada kenyataan di lapangan, khususnya di daerah pelosok.