InfoSAWIT, JAKARTA – Diskusi tentang keberlanjutan tata kelola perkebunan sawit kembali mengemuka setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa sawit bukan termasuk tanaman hutan. Dalam Permen LHK P.23/2021, sawit juga tidak tercantum sebagai tanaman untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
KLHK sebelumnya menyatakan bahwa praktik ekspansif, monokultur, dan non-prosedural sawit di kawasan hutan telah menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari masalah hukum hingga kerusakan ekologis, hidrologis, dan sosial.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Priyono Suryanto, menyampaikan kritik keras terhadap rencana penambahan area perkebunan sawit. Ia menilai opsi ini sebagai langkah “jalan kuno” yang justru memperkuat stigma Indonesia sebagai negara dengan tingkat deforestasi tinggi.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Masih Withdraw Pada Kamis (9/1), Harga CPO di Bursa Malaysia Turun
“Opsi seperti ini berarti Indonesia menyerah pada tekanan global terkait kampanye negatif. Apakah Kabinet Merah Putih ingin mengorbankan marwah merah putih dengan membuka kawasan sawit baru?” ujar Ketua Umum Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI) itu.
Menurut Prof. Priyono, pemerintah seharusnya berfokus pada optimalisasi perkebunan sawit rakyat. “Kita harus membangun supremasi riset dan inovasi untuk sawit rakyat agar mereka naik kelas. Saat ini, perkebunan sawit rakyat masih menghadapi banyak kendala meski program peremajaan sudah dilakukan,” jelasnya dilansir InfoSAWIT dari DetikEdu, Jumat (10/1/2025).
Prof. Priyono menawarkan dua solusi utama untuk mendukung keberlanjutan tanpa ekspansi kawasan baru, pertama, Penguatan Riset dan Inovasi, dimana pemerintah didorong untuk memperkuat riset, inovasi, dan kedaulatan sumber daya manusia (SDM) di sektor sawit. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia menghasilkan produktivitas tinggi sambil menjaga prinsip keberlanjutan dan menghindari ekspansi lahan baru.
BACA JUGA: Mitigasi Dampak Perluasan Perkebunan Sawit
Lantas kedua, melalui Era “Super Power Perkebunan Kelapa Sawit Berkesemestaan”, konsep ini menekankan harmoni antara pembangunan dan kelestarian lingkungan, mengacu pada dalil Saint Vincent de Lerins: “selamanya, di mana pun, untuk semuanya.” Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat menjadi model global dalam tata kelola sawit berkelanjutan.
“Era baru ini akan menjadikan Indonesia pemimpin dunia dalam industri kelapa sawit yang menghormati keseimbangan ekosistem dan kemanusiaan,” tambahnya.
Melalui solusi ini, Prof. Priyono berharap pemerintah tidak memilih langkah “kuno” berupa pembukaan hutan untuk ekspansi sawit. Sebaliknya, ia mengajak Kabinet Merah Putih mengambil pendekatan inovatif menuju Indonesia Emas 2045.
BACA JUGA: Jaksa Agung Ungkap Pejabat KLHK Bakal Jadi Tersangka Korupsi Tata Kelola Sawit
“Kalau kita hanya mengandalkan pembukaan lahan baru, kita tidak bergerak maju. Apakah ini cara kita menyongsong masa depan yang gemilang?” pungkasnya.
Langkah ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan ekologi demi keberlanjutan jangka panjang. (T2)