InfoSAWIT, JAKARTA – Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan bahwa pejabat eselon I dan II di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diduga terlibat dalam kasus korupsi tata kelola sawit selama periode 2005-2024. Meski demikian, Burhanuddin enggan membeberkan identitas para pejabat tersebut.
“Yang pasti ada,” ujar Burhanuddin dilansir InfoSAWIT dari Tempo, Kamis (9/1/2025). Ia menambahkan bahwa pengumuman resmi terkait nama tersangka akan disampaikan dalam waktu dekat, kemungkinan dalam satu bulan ke depan.
Kasus ini mencuat setelah tim penyidik Kejaksaan Agung menggeledah Gedung Manggala Wanabakti KLHK pada 3 Oktober 2024. Sebelumnya, Burhanuddin telah mengumumkan penetapan tersangka pada 2 Januari 2024.
BACA JUGA: Pelaku Usaha Sawit Didorong Patuhi Kewajiban Pajak
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Ardiansyah, menjelaskan bahwa kasus ini melibatkan perusahaan-perusahaan sawit yang menanam di kawasan hutan tanpa izin pelepasan. Beberapa dari lahan tersebut berada di kawasan konservasi dan hutan lindung.
“Kami teliti mana yang bisa dikenakan pidana dan mana yang hanya dikenakan denda administratif. Harus ada kepastian untuk mengembalikan hak negara,” ujar Febrie.
Febrie menambahkan bahwa kasus ini berkaitan dengan kebocoran uang negara sebesar Rp 300 triliun, seperti yang pernah diungkap oleh Hashim Djojohadikusumo berdasarkan hitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jumlah ini berasal dari pelanggaran Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja.
BACA JUGA: Pemerintah Dorong Koperasi Kelola Pabrik Minyak Sawit
Dalam penanganan sawit ilegal, KLHK membentuk Satuan Pelaksana Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja (Satgas Sawit) yang dipimpin oleh Bambang Hendroyono. Bambang, yang sebelumnya menjabat Sekretaris Jenderal KLHK, telah menghitung denda administratif bagi perusahaan dan individu yang menanam sawit di kawasan hutan.
Menurut data KLHK, luas sawit di kawasan hutan mencapai lebih dari 3 juta hektare. Pemerintah menyebut sawit di kawasan hutan sebagai “ketelanjuran” yang diatur melalui UU Cipta Kerja. Pasal 110A dan 110B mengatur sanksi berupa pengembalian lahan untuk petani individu dan denda administratif untuk perusahaan.
Namun, jaksa menemukan indikasi korupsi dalam penentuan denda dan hukuman ini. Penyelidikan terus berjalan untuk memastikan adanya penyelewengan yang merugikan negara. (T2)