InfoSAWIT, BALI – Ahli konservasi dari International Union for Conservation of Nature (IUCN), Erik Meijaard menegaskan, bahwa minyak nabati—termasuk kelapa sawit—merupakan bagian penting dari pola makan manusia. Namun, tantangan utamanya adalah meningkatkan produksi minyak nabati secara global dengan dampak lingkungan minimal.
Meijaard menjelaskan, populasi global yang terus bertambah memicu permintaan minyak nabati yang semakin tinggi. “Ini perhitungan sederhana: lebih banyak orang berarti lebih banyak minyak dibutuhkan. Pertanyaannya, bagaimana meningkatkan produksi tanpa merusak lingkungan?” ujarnya disela acara Internasional Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) ke-7 Hari ke 2 di Bali, dihadiri InfoSAWIT, Kamis (13/2/2025).
Ia mengungkapkan paradoks kelapa sawit: di satu sisi, sawit menghasilkan 4-10 kali lebih banyak minyak per hektar dibandingkan tanaman lain seperti kedelai atau rapeseed. “Jika permintaan minyak dipenuhi sawit, kita bisa mengurangi kebutuhan lahan. Tapi di sisi lain, ekspansi sawit sering mengorbankan hutan,” tambahnya.
BACA JUGA: Hindari Potensi Kerugian Hingga Rp 4,6 Miliar, Sinar Mas Buat varietas Sawit Tahan Kekeringan
Dalam laporan terbaru IUCN, Meijaard dan tim menekankan bahwa tidak ada minyak nabati yang secara inheren “baik” atau “jahat”. “Masalahnya bukan pada jenis tanamannya, melainkan cara pengelolaannya. Setiap minyak nabati punya contoh manajemen baik dan buruk,” tegasnya.
Laporan ini menanggapi kampanye media sosial yang kerap menyudutkan sawit sebagai komoditas “jahat” sambil memuji minyak lain seperti kelapa. “Kita perlu bergerak ke arah praktik berkelanjutan, bukan sekadar menghakimi suatu komoditas,” ujar Meijaard.
Konferensi ini membahas berbagai solusi, seperti meningkatkan produktivitas lahan eksisting melalui teknologi pertanian, serta menerapkan agroforestri—menggabungkan sawit dengan tanaman lain seperti semangka, kopi, atau koko. “Agroforestri bisa mengurangi tekanan pada hutan sekaligus meningkatkan keanekaragaman hayati dan pendapatan petani,” jelas Meijaard.
Ia juga menyinggung dampak perubahan iklim pada produksi minyak nabati. “Deforestasi tidak hanya memicu pemanasan global, tetapi juga mengubah iklim lokal. Di Kalimantan, suhu bisa naik 10°C saat hutan dialihfungsikan menjadi lahan terbuka,” ujarnya.
Meijaard menegaskan bahwa dunia tidak bisa menghindari sawit. “Jika permintaan minyak nabati dipenuhi hanya oleh kedelai, kita butuh 200 juta hektar lahan tambahan. Itu akan memperparah deforestasi dan perubahan iklim,” paparnya.