InfoSAWIT, BALI – Dalam isu perubahan iklim terdapat peran ganda sektor pertanian. Menurut Anita Neville, Chief Sustainability and Communications Officer Sinar Mas Agribusiness & Food, mengungkapkan, pertanian atau sistem pangan adalah sekaligus “pelaku” dan “korban” dalam krisis iklim yang sedang terjadi.
“Sebagai pelaku, pertanian bertanggung jawab atas 30% emisi gas rumah kaca (GRK) global. Ini adalah jejak karbon yang besar bagi planet kita. Namun, di sisi lain, sektor ini juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati,” ujar Neville saat berbicara pada acara Internasional Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) ke-7 hari ke 1 di Bali, dihadiri InfoSAWIT, Rabu (12/2/2025).
Dia menambahkan, Indeks Risiko Iklim yang terus meningkat menunjukkan bahwa banyak negara di kawasan Asia Pasifik berada dalam 40 besar negara paling rentan terhadap perubahan iklim. “Komunitas pedesaan dan petani adalah yang paling terdampak. Di Indonesia, misalnya, banjir yang semakin sering terjadi telah memengaruhi rantai pasok, logistik, dan produktivitas secara umum,” jelasnya.
BACA JUGA: Hindari Potensi Kerugian Hingga Rp 4,6 Miliar, Sinar Mas Buat varietas Sawit Tahan Kekeringan
Neville juga mengungkapkan dampak peningkatan suhu tinggi yang konsisten terhadap penyerbukan dan perilaku kelapa sawit. “Kami bahkan belum mulai menilai dampak hari-hari dengan suhu ekstrem terhadap produktivitas tenaga kerja dan implikasinya terhadap dorongan untuk otomatisasi dan mekanisasi di industri kami,” tambahnya.
Sebagai Chief Sustainability Officer, Ia sering ditanya bagaimana strategi keberlanjutan perusahaan selaras dengan strategi bisnis. “Jawaban saya selalu sama: keberlanjutan adalah strategi bisnis kami. Perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah ancaman eksistensial bagi setiap bisnis di dunia, termasuk di Indonesia. Ini adalah imperatif bisnis,” tegasnya.
Untuk mengatasi tantangan ini, Sinar Mas Agribusiness & Food telah melakukan sejumlah langkah konkret. “Kami telah mengintensifkan investigasi terhadap jejak emisi kami, meningkatkan kualitas dan granularitas data yang kami kumpulkan, serta menyelaraskan pendekatan kami dengan praktik terbaik yang diakui secara internasional,” papar Neville.
BACA JUGA: IUCN Sebut Tak Ada Minyak Sawit Jahat, Hanya Butuh Perbaikan Manajemen
Sepanjang tahun 2022 sebagai tahun dasar, hingga 2023, perusahaan telah memetakan emisi mereka berdasarkan Scope 1, 2, dan 3, serta menetapkan target yang selaras dengan metodologi Science Based Targets Initiative (SBTi). “Ini memberikan arahan yang jelas tentang bagaimana mengurangi jejak karbon kami,” ujarnya.