InfoSAWIT, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara resmi merilis daftar 436 perusahaan perkebunan sawit yang menggarap lahan ilegal di kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 36 Tahun 2025 (Kepmenhut 36/2025).
Kebijakan ini merupakan turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, dengan total luasan 790.474 hektar sedang dalam proses penyelesaian administratif, sementara 317.253 hektar lainnya ditolak permohonannya karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Ironisnya, perusahaan-perusahaan yang terdaftar — termasuk raksasa seperti Sinarmas Agro, Wilmar, Musim Mas, dan Astra Agro — selama ini mengklaim mematuhi prinsip keberlanjutan melalui sertifikasi ISPO (mandatory) dan RSPO (voluntary). Temuan ini memunculkan pertanyaan serius tentang integritas sistem sertifikasi dan komitmen korporasi dalam mencegah deforestasi ilegal.
BACA JUGA: Sinar Mas Agribusiness & Food Targetkan Nol Emisi Karbon pada 2050
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo menyatakan, bahwa Kepmenhut 36/2025 merupakan langkah awal transparansi pemerintah. Namun, ia menekankan perlunya kejelasan tindak lanjut, terutama untuk lahan yang ditolak. “Apakah akan direhabilitasi, dikelola BUMN, atau justru jadi bancakan pihak tak bertanggung jawab? Penegakan hukum harus tegas, termasuk koordinasi antara Satgas Penertiban Kawasan Hutan dan aparat penegak hukum,” tegas Surambo dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Senin (17/2/2025).
Sawit Watch juga mengungkap temuan mengejutkan: 11 grup anggota RSPO di Riau menguasai 59.817 hektar ilegal, sementara 10 grup di Kalimantan Tengah mencapai 134.319 hektar. Surambo mendesak RSPO dan pemerintah melakukan audit mendalam, termasuk pencabutan sertifikat bagi perusahaan bermasalah.
Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazalimengapresiasi transparansi Menteri LHK Raja Juliantoni, namun menyoroti ketidakjelasan skema penyelesaian. “Apakah lahan tertolak masuk Pasal 110B UUCK (pemidanaan), Pasal 3 Perpres 5/2025 (pengambilalihan negara), atau dihutankan kembali? Ini harus dijawab agar tak timbul konflik baru,” papar Zazali.
BACA JUGA: Advance Research Sdn Bhd Malaysia Ungkap Strategi Genetik untuk Tangani Ganoderma Sawit
Gunawan, Penasihat IHCS, menambahkan bahwa ambiguitas Pasal 110A dan 110B UUCK berpotensi memperparah ketidakpastian hukum. “Ini bisa merusak diplomasi sawit Indonesia dan komitmen nol-deforestasi. Masyarakat sekitar hutan juga terdampak karena tumpang tindih regulasi,” jelasnya.
Kuasa Hukum IHCS, John D. Sinuratmengungkapkan bahwa Pasal 110B UUCK sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Sawit Watch. “Gugatan ini untuk menjamin keadilan bagi masyarakat yang hidup di kawasan hutan. Kami menunggu proses persidangan,” ujar Sinurat.
Kepmenhut 36/2025 berpotensi mengganggu rantai pasok global sawit Indonesia, terutama bagi perusahaan yang terancam sanksi perdagangan internasional. Di sisi lain, kebijakan ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat pengawasan sertifikasi dan penegakan hukum.
BACA JUGA: Populasi Kumbang Penyerbuk Kelapa Sawit Terancam Akibat Suhu Ekstrim
Pemerintah diharapkan segera merilis roadmap penyelesaian lahan tertolak, termasuk skema rehabilitasi atau pengambilalihan, serta memastikan perusahaan bermasalah tak lolos dari jeratan pidana kehutanan. Sementara itu, tekanan terhadap RSPO dan ISPO untuk meningkatkan kredibilitas sertifikasi semakin tak terhindarkan. (T2)