InfoSAWIT, JAKARTA – Komitmen perusahaan sawit besar dalam menerapkan prinsip keberlanjutan melalui sertifikasi mandatory (ISPO) dan voluntary (RSPO) kembali dipertanyakan. Investigasi Sawit Watch mengungkap bahwa sejumlah grup besar sawit yang memiliki sertifikasi keberlanjutan justru teridentifikasi mengelola kebun secara ilegal di kawasan hutan.
Hasil rekapitulasi Sawit Watch dari 15 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menunjukkan bahwa di Provinsi Riau, terdapat 11 grup besar anggota RSPO dengan total luas kebun mencapai 59.817,70 hektare. Sementara di Kalimantan Tengah, terdapat 10 grup besar sawit dengan luas kebun mencapai 134.319,63 hektare.
Menanggapi temuan ini, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Surambo, menegaskan pentingnya tindakan tegas dari RSPO terhadap anggota yang terbukti melakukan aktivitas ilegal. “RSPO seharusnya membekukan keanggotaan serta mencabut sertifikat keberlanjutan perusahaan yang membuka kawasan hutan tanpa izin. Sementara bagi pemerintah, perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan pemegang sertifikat ISPO,” ujar Surambo dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Senin (17/2/2025).
BACA JUGA: Advance Research Sdn Bhd Malaysia Ungkap Strategi Genetik untuk Tangani Ganoderma Sawit
Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazali, juga mengapresiasi langkah Menteri Kehutanan, Raja Juliantoni, yang menerbitkan daftar perusahaan sawit yang ditolak penyelesaiannya.
Namun, ia menyinggung adanya ketidakjelasan mengenai skema penyelesaian yang akan diterapkan. “Apakah kebun yang ditolak tersebut akan masuk dalam skema penyelesaian Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) atau akan dikembalikan ke kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Perpres 5/2025? Lalu bagaimana nasib pengelolaan kebun-kebun tersebut?” ungkap Zazali.
Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), menambahkan bahwa perubahan regulasi dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian masalah perkebunan sawit di kawasan hutan.
BACA JUGA: Uji Rendemen Sawit, Apkasindo Aceh Dampingi PPKS Pastikan Keadilan Harga TBS Petani
“Ada tumpang tindih antara pemidanaan dan pemutihan melalui sanksi administratif berupa pembayaran denda. Hal ini berpotensi memperburuk diplomasi sawit Indonesia dan melemahkan komitmen negara dalam menghentikan deforestasi,” jelas Gunawan.
Dengan berbagai permasalahan yang muncul, para pemangku kepentingan mendesak pemerintah serta lembaga sertifikasi untuk bersikap lebih tegas terhadap perusahaan-perusahaan sawit yang melanggar aturan. Langkah konkret dan transparan sangat diperlukan demi menjaga keberlanjutan industri sawit serta kredibilitas Indonesia di mata dunia dalam tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab. (T2)