InfoSAWIT, KUALA LUMPUR – Produksi biofuel global menghadapi tantangan besar akibat melambatnya pengumpulan minyak bekas dan limbah pada 2024. Hal ini diprediksi akan menyebabkan defisit yang semakin besar di tahun 2025 dan 2026. Demikian disampaikan oleh Artem Hammerschmidt, Head of Vegoils and Biofuels Research dari Ceras Analytics, dalam paparannya di 36th Palm and Lauric Oils Price Outlook Conference di Kuala Lumpur, 26 Februari 2025.
Menurut Hammerschmidt, kebijakan tetap menjadi pendorong utama permintaan biofuel sekaligus produksi global. Target dekarbonisasi yang ambisius, terutama di Eropa, Indonesia, dan Amerika Serikat, telah mendorong permintaan biodiesel, renewable diesel (HVO), dan sustainable aviation fuel (SAF) yang diperkirakan akan meningkat hingga 8 juta ton dalam periode 2025-2026.
Eropa: Ketergantungan pada Minyak Limbah
Di Inggris dan Eropa, kebutuhan biofuel untuk sektor penerbangan dan maritim meningkat tajam. Kebijakan ketat membatasi penggunaan feedstock hanya dari limbah dan bahan baku maju untuk produksi SAF dan biodiesel/HVO maritim. Total kebutuhan biodiesel/HVO/SAF untuk transportasi darat, udara, dan laut diproyeksikan naik 2,5 juta ton tahun ini dan tambahan 1,3 juta ton pada 2026.
BACA JUGA: PT SMART Tbk dan USU Gelar Talkshow Bahas Masa Depan Industri Kelapa Sawit
Namun, pertumbuhan permintaan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Eropa mampu mendapatkan cukup pasokan minyak limbah untuk memenuhi kebutuhan tersebut? Sementara itu, peningkatan impor HVO/SAF berhasil mengimbangi sebagian besar penurunan biodiesel yang masuk ke pasar Eropa.
Di sisi lain, perubahan kebijakan subsidi di Amerika Serikat turut memengaruhi daya saing biodiesel Eropa di pasar AS. Produksi biodiesel/HVO/SAF Eropa diperkirakan akan meningkat 2,1 juta ton pada 2025 dan tambahan 0,7 juta ton di tahun berikutnya.
Amerika Serikat: Dampak Kebijakan Subsidi
Perubahan kebijakan subsidi dari “blender’s subsidy” ke “producer’s subsidy” pada Januari 2025 telah mengguncang sektor biofuel AS. Produksi biodiesel dan turunannya diperkirakan turun hingga 15% pada kuartal pertama 2025, sementara impor anjlok pada Januari dan Februari.
BACA JUGA: 18 Anak Usaha Musim Mas Group Peroleh Peningkatan PROPER Hijau dan Biru di Sektor Sawit
Penurunan produksi ini menyebabkan harga Renewable Identification Number (RIN) meningkat, meski margin produksi telah mulai pulih dari titik terendah awal 2025. Diperkirakan, stok RIN di AS akan menjadi negatif pada akhir 2025 dan semakin menurun di 2026, yang dapat mendorong harga RIN lebih tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
Perubahan kebijakan energi yang akan diambil oleh administrasi pemerintahan AS selanjutnya, terutama jika terjadi perubahan kepemimpinan, juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi industri biofuel AS. Produksi biodiesel/HVO/SAF diperkirakan akan berbalik dari penurunan 0,1 juta ton pada 2025 menjadi pertumbuhan 1,6 juta ton di 2026.
Selain itu, permintaan terhadap minyak kedelai dan minyak bekas sebagai bahan baku diprediksi meningkat signifikan. Harga minyak kedelai pun berpotensi naik, terutama jika AS menerapkan lebih banyak pembatasan terhadap impor minyak nabati dan lemak.
BACA JUGA: Ketua SPKS Aceh Dampingi Petani Sawit Daftar Sarpras BPDP Untuk Perbaikan Jalan Kebun
Dengan meningkatnya permintaan biofuel global serta keterbatasan pasokan bahan baku, industri dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan produksi dan ketersediaan bahan baku berkelanjutan. Negara-negara dengan target dekarbonisasi tinggi harus mencari solusi inovatif dalam pengelolaan minyak limbah serta diversifikasi sumber bahan baku agar dapat memenuhi kebutuhan energi bersih tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan. (T2)