InfoSAWIT, PROBOLINGGO — Suara mesin PLTU Paiton masih bergemuruh ketika rombongan Komisi XII DPR RI tiba pada Minggu pagi, 13 April 2025. Di bawah sinar matahari Jawa Timur, Wakil Ketua Komisi XII Sugeng Suparwoto berdiri di depan deretan turbin raksasa dan menyampaikan dukungan penuh terhadap pemanfaatan teknologi co-firing—sebuah pendekatan baru dalam mengurangi emisi dari pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara.
“Co-firing ini langkah strategis. Ia bukan hanya menurunkan emisi dari bahan bakar fosil, tetapi juga menjadi solusi pengolahan sampah yang kian mendesak,” ujar Sugeng dikutip InfoSAWIT dari Parlementaria pada, Selasa (15/4/2025).
Teknologi co-firing sendiri adalah metode membakar dua bahan bakar secara bersamaan dalam satu tungku. Di PLTU, batu bara dicampur dengan biomassa seperti pellet kayu, cangkang sawit, serbuk gergaji, bahkan sampah olahan. Tujuannya sederhana: mengurangi porsi batu bara, memperbaiki kualitas udara.
BACA JUGA: Ketua DPRD Kapuas Dukung Penuh Investasi Sawit untuk Dorong Ekonomi Daerah
Sugeng menilai bahwa penggunaan sampah sebagai bagian dari biomassa membawa manfaat ganda. “Kita menekan emisi metana dan karbon dioksida dari sampah, sekaligus mengubahnya jadi energi. Jadi dua masalah selesai sekaligus,” jelasnya.
Meski sampah memiliki nilai kalor yang lebih rendah dibandingkan batu bara, Sugeng menilai hal itu bukan hambatan berarti. Menurutnya, teknologi saat ini mampu mengatasi tantangan tersebut dengan efisiensi tinggi.
Target nasional co-firing pun sudah dicanangkan. Komisi XII mendorong penerapannya sebesar 5 persen. “Bayangkan, kalau 5 persen dari 200 juta ton batu bara yang dibakar setiap tahun bisa digantikan, berarti sekitar 10 juta ton emisi bisa ditekan,” ucapnya.
Dengan emisi karbon dioksida dan sulfur dari batu bara yang sangat tinggi, pemangkasan 10 juta ton batu bara bisa memberi dampak besar terhadap kualitas lingkungan. Sugeng juga menyebut pentingnya pengawasan teknologi di PLTU, termasuk penerapan sistem super critical dan ultra critical untuk menurunkan jejak karbon.
“Kita kawal supaya setiap PLTU batubara menggunakan teknologi ramah lingkungan. Bahkan ke depan, kita berharap bisa terapkan carbon capture and storage,” ujarnya.
Sugeng mengakui bahwa transisi ke energi baru dan terbarukan butuh waktu. Namun, selama proses berlangsung, PLTU tetap dibutuhkan—tentu dengan pendekatan efisien dan beremisi rendah.
BACA JUGA: Uang, Mobil Mewah, dan Putusan Onslag: Kisah Suap Hakim dalam Perkara Minyak Goreng
“Batu bara belum bisa ditinggalkan seketika. Tapi kita tekan emisinya. Salah satunya dengan PLTU mulut tambang agar lebih efisien,” pungkasnya.
Dengan semangat itu, langkah-langkah konkret seperti co-firing menjadi kunci. Tidak hanya menjaga pasokan energi, tapi juga menyelamatkan udara dan bumi yang terus kita tinggali bersama. (T2)