InfoSAWIT, JAKARTA – Dunia perdagangan internasional kembali diguncang oleh kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Melalui program bertajuk “Make America Wealthy Again”, Trump mengumumkan penerapan tarif timbal balik (resiprokal) yang tinggi terhadap negara-negara pemasok produk ke AS—tak terkecuali Indonesia. Kebijakan ini disebut sebagai respons atas praktik dagang yang dinilai merugikan ekonomi domestik AS.
Meskipun implementasinya ditunda selama 90 hari hingga Juni 2025, kekhawatiran terhadap dampak kebijakan ini sudah terasa. Indonesia, yang berada di posisi kedelapan dalam daftar negara yang dikenakan tarif, akan menghadapi tarif hingga 32 persen. Angka ini terbilang tinggi dan berpotensi menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia, termasuk kelapa sawit, di pasar Amerika.
“Selama ini Indonesia menikmati surplus perdagangan dengan Amerika Serikat, terutama dari produk seperti tekstil, alas kaki, dan minyak sawit,” ujar Sutiyana, Ketua Yayasan Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan (FORTASBI), dalam keterangannya kepada InfoSAWIT, Jumat (25/4/2025). Ia menambahkan, AS merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah Tiongkok, dengan kontribusi sekitar 10,5 persen dari total ekspor nasional.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Turun Tipis Pada Kamis (24/4), Harga Minyak Sawit di Bursa Malaysia Ketat
Data dari United States Department of Agriculture (USDA) menunjukkan dominasi Indonesia dalam pasar tropical oil di AS. Pada 2023, ekspor minyak tropis asal Indonesia mencapai USD 2,13 miliar—melampaui Filipina dan Malaysia. Indonesia bahkan menguasai lebih dari 70 persen impor minyak tropis AS, rekor tertinggi sejak 2010.
Tropical oil sendiri mencakup minyak sawit dan minyak kelapa—dua komoditas strategis yang digunakan dalam lebih dari 50 persen produk rumah tangga, dari makanan olahan hingga biodiesel.
Secara volume, ekspor sawit Indonesia ke AS juga meningkat, dari 1,8 juta ton pada 2022 menjadi 1,9 juta ton di 2024. Amerika kini menjadi pasar keempat terbesar bagi sawit Indonesia. Lonjakan ini sebagian dipicu oleh upaya Indonesia membangun narasi keberlanjutan melalui skema RSPO dan ISPO.
BACA JUGA: TLDN Akuisisi PT CDM, Perluas Lahan dan Perkuat Komitmen Keberlanjutan
Namun, tarif tinggi yang direncanakan AS bisa membalikkan tren positif ini. Konsumen di AS kemungkinan akan beralih ke produk substitusi yang lebih murah, menekan permintaan sawit dari Indonesia. Jika ekspor menurun, petani sawit swadaya akan terkena dampak langsung—mulai dari turunnya harga tandan buah segar (TBS) hingga hasil panen yang tidak terserap pasar.
“Tarif ini bisa menjadi beban tambahan bagi petani. Ketika menjual TBS, mereka mungkin akan menghadapi pajak tidak langsung yang lebih tinggi. Hal ini mengancam semangat mereka untuk terus berproduksi dan mempertahankan devisa negara,” kata Sutiyana.
Ia menegaskan, jika tidak ditangani serius, dampak kebijakan ini dapat menggerus kesejahteraan petani dan mengguncang ekonomi desa. Pemerintah dan pelaku industri diminta segera menyiapkan langkah antisipatif, termasuk memperkuat hilirisasi dan memperluas pasar alternatif agar ketergantungan pada AS dapat dikurangi. (T1)