InfoSAWIT, JAKARTA – Di tengah semangat peremajaan kebun sawit rakyat yang terus digaungkan pemerintah, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Indonesia, Setiyono, mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan. Meski secara konsep Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) berjalan baik, pelaksanaannya dinilai masih menemui banyak kendala, terutama terkait legalitas lahan.
Setiyono mengungkapkan, hampir 90% kebun sawit masyarakat yang menjalankan PSR berasal dari skema PIR-Trans, sebuah program transmigrasi perkebunan yang sudah lama ada. “Yang benar-benar PSR itu 90% adalah Aspekpir. Tapi di lapangan, karena iklim demokrasi, banyak organisasi lain masuk. Ya kita hormati,” ujar Setiyono kepada InfoSAWIT, disela acara Rakernas Aspekpir, di Jakarta, Selasa (29/4/2025),
Ia juga mengapresiasi peningkatan dukungan pemerintah terhadap PSR, terutama kenaikan dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang semula Rp25 juta per hektare menjadi Rp60 juta per hektare saat ini. Namun, muncul banyak penundaan pengajuan PSR oleh petani lantaran memastikan dana hibah BPDPKS naik menjadi Rp60 juta per ha. Akibatnya, terjadi keterlambatan dalam penyaluran dan realisasi di lapangan.
BACA JUGA: Mensinergikan Generasi Milenial dan Generasi Z di Industri Sawit
“Banyak yang nunggu naiknya dana hibah, padahal ya cuma beda beberapa bulan. Jadi yang masuk daftar baru sekarang mulai proses. Target kita secara nasional 180 ribu hektare, dari total kebun Aspekpir yang 800 ribu hektare,” jelasnya.
Setiyono juga menyinggung pentingnya pemetaan wilayah PSR. Ia menganalogikan kondisi saat ini seperti “telur dan ayam”—tidak jelas mana yang lebih dulu: lahan atau bibit.
“PSR itu harus dipetakan dari awal. Mana wilayah yang siap, bibitnya harus sudah disiapkan. Jangan sampai nanti bibit sudah ada, lahannya belum siap atau sebaliknya,” ujarnya. Ia menambahkan, ketidaksinkronan ini menyebabkan banyak kebingungan antara lembaga yang mengajukan PSR dan kesiapan di lapangan.
BACA JUGA: Industri Sawit Perlu Harmonisasi Data
Menanggapi hal tersebut, Direktur BPDPKS Normansyah Hidayat Syahruddin menjelaskan bahwa lembaganya tetap berkomitmen mendorong keberlanjutan industri sawit rakyat. Ia menegaskan PSR adalah salah satu dari enam tugas utama BPDPKS, sebagaimana diamanatkan dalam Perpres 61 2015 yang diperbaharui melalui Perpres No 66 tahun 2018, turunan dari Undang-Undang Perkebunan.
“Sejak 2016, kami telah menyalurkan sekitar Rp10 triliun untuk PSR seluas lebih dari 38 ribu hektare. Dana hibah sudah meningkat dari Rp25 juta menjadi Rp60 juta per hektare. Ini wujud komitmen pemerintah,” ujar Normansyah.